Kita masih teringat dengan perselisihan antara tukang beca dengan sopir taksi on line di pool Bis Damri beberapa waktu bukan? (Pengemudi Ojol Cekcok dengan Tukang Becak Gara-gara Berebut Penumpang - http://www.kebumenekspres.com/2018/02/pengemudi-ojol-cekcok-dengan-tukang.html). Demikian pula dengan demontrasi yang digelar beberapa waktu lalu di Karanganyar perihal penolakan sejumlah tukang beca terhadap dinamika era digital yang membentuk perubahan perilaku transportasi menjadi transportasi on line berbasis aplikasi (Gelar Demo, Sopir dan Tukang Becak Karanganyar Tolak Transportasi Online -http://www.kebumenekspres.com/2018/04/gelar-demo-sopir-dan-tukang-becak.html)?
Prof Rhenald Kasali mengistilahkan fenomena tersebut sebagai “Peradaban Uber”. Istilah itu merujuk pada dunia baru dengan pembedaan dengan dunia lama. Peradaban itu dikenali dengan perubahan ruang, waktu, pola ekonomi, dan lawan yang tidak kelihatan. Perubahan yang terjadi diawali dengan hal kecil sedemikian kecil sehingga terabaikan oleh mereka yang besar. Perubahan itu bahkan tidak terlihat, terjadi dari pintu ke pintu, langsung kepada pelanggan, tanpa tanda-tanda yang bisa dibaca. Sulit untuk dibantah, bahwa saat ini adalah peradaban uber dengan sokongan utama internet.

Peradaban uber menciptakan peluang sekaligus menjadi ancaman bagi usaha. Dalam Peradaban Uber, semua lawan menjadi tidak terlihat, tak kasatmata. Perubahan dalam peradaban uber membuat petahana menjadi usang dan kehilangan relevansi dalam menghadapi dunia baru. Lalu bagaimana menghadapinya? Jawabannya adalah Disruption. Sebagaimana dikatakan Rhenald Kasali dalam bukunya, “Namun, sebelumnya saya harus mengucapkan selamat kepada Anda semua. Selamat datang di peradaban Uber. Haruskah negara mengubah langkah pelaku perubahan? Ataukah kita yang berubah? Kita menghadapi suatu era baru – era disption. Era ini membutuhkan disruptive regulation, disruptive culture, disruptive mindset dan disruptive marketing” (Disruption, 2017:15).

Namun artikel berikut tidak hendak memperdalam perihal apa dan bagaimana Era Disruption dan berbagai strategi inovatif yang perlu dibangun, namun hendak memotret ulang konflik pengguna transportasi yang pernah terjadi di tahun 1953 di Kebumen. Konflik ini memberikan pada kita sebuah potret perubahan sosial dan mereka yang menyongsong perubahan dan yang memilih bertahan.




Dalam sebuah koran bernama De Locomotief edisi 2 Juli 1953 dilaporkn perihal konflik antara tukang beca dan kusir kuda. Laporan itu berbunyi demikian:

Koetsiers contra Betja’s
Tot nu toe is het nog niemand in Kebumen gelukt om een betja onderneming o te richten. Elke poging hierto is afgestuit o het heftige verzet van de koetsiers

Berikut terjemahannya:

Kusir Lawan Beca
“Sejauh ini tidak ada seorang pun di Kebumen yang berhasil menargetkan perusahaan Beca. Setiap upaya di sini telah diputus oleh perlawanan keras dari para kusir”

Jika surat kabar De Locomotief  membuat judul Koetsiers Contra Betja’s (Kusir Lawan Beca), maka surat kabar De Preagerbode, membuat judul In Kebumen Krijgt Betja Gen Kans (Betja tidak mendapat kesempatan di Kebumen). Namun isi laporan sama persis dengan De Locomotief .



Menarik, beca pada tahun 1953 mewakili simbol modern sementara kusir mewakili simbol tradisional dan terjadi benturan antara transportasi tradisional yang perlahan-lahan terancam keberadaannya sebagai konsekwensi transportasi yang lebih modern.

Di Abad 21 dimana telah terjadi revolusi teknologi dan komunikasi dimana terjadi perkawinan antara teknologi internet dan komputer serta teknologi komunikasi yang melahirkan smartphone (ponsel cerdas) di genggaman tangan yang bukan hanya menjadi alat berkomunikasi melainkan bertransaksi dan melakukan transportasi secara on line, tentu akan terjadi sejumlah benturan antara pengguna transportasi konvensional dan pengguna transportasi yang lebih modern saat ini yaitu transportasi on line.

Kiranya pemerintah daerah dapat mensiasati berbagai perubahan sosial akibat teknologi yang terjadi begitu cepat dan berdampak di segala bidang termasuk di bidang transportasi, sehingga berbagai dampak negatif dan positif dapat dikelola serta berbagai benturan sebagai bagian dari transisi perubahan dapat dijembatani sehingga tetap terjadi harmonitas antara mereka yang memilih transportasi konvensional maupun transportasi on line.