Gusdurian Kebumen, Klenteng Tridharma 22 Maret 2018
Stigma dan Identitas Sosial
Istilah-istilah berikut yaitu orang asing, orang aneh, orang berbahaya, orang sesat, merupakan istilah yang digunakan untuk menciptakan jarak antar kelompok orang, untuk menciptakan “yang lain” (the other) dan semua julukkan atau istilah di atas adalah penanda sebuah stigma. Secara umum, istilah adalah atribut yang mendiskreditkan atau tanda aib yang membuat orang lain melihat kita sebagai tidak dapat dipercaya, tercemar, tidak kompeten dll. Oleh karena itu, stigma adalah gagasan yang dibangun secara sosial tentang penerimaan sosial berdasarkan identitas dan asosiasi.
Sosiolog pertama yang mengeksplorasi konsep mengenai stigma adalah Émile Durkheim yang pada tahun 1895[1], mencatat bagaimana penyimpangan dan kriminalitas merupakan tindakkan pelanggaran norma sosial yang diciptakkan oleh masyarakat. Sosiolog berikutnya adalah Erving Goffman yang pada tahun 1963[2].
Erving Goffman melacak penggunaan istilah stigma yang bermula dari bahasa Yunani untuk menandai seseorang yang dianggap memiliki perilaku moral buruk yang disematkan ke dalam tubuh dengan cara dibakar atau ditempelkan benda panas serta diumumkan sebagai seorang budak, penjahat, atau pengkhianat - orang yang cacat, orang tercemar yang harus dihindari, terutama di tempat-tempat umum. Dalam perkembangannya, Kekristenan menggunakan istilah stigma dalam dua pengertian yaitu sebagai tanda-tanda khusus yang bersifat Ilahi yang disematkan dalam tubuh dan yang berikutnya untuk menandai sebuah simbol perihal perilaku yang menyimpang dalam bentuk kecacatan tubuh. Dalam perkembangannya istilah stigma menjadi penanda yang bukan memfokuskan pada bukti fisik melainkan tindakkan yang dianggap menimbulkan keaiban[3]
Stigma adalah proses yang terjadi secara sosiologis yang artinya masyarakat menetapkan sebuah kriterium tertentu terhadap seseorang atau kelompok masyarakat yang berbeda dengan mereka sebagaimana dikatakan Goffman, “Society establishes the means of categorizing persons and the complement of attributes felt to be ordinary and natural for members of each of these categories. Social settings establish the categories of persons likely to be encountered there” (Masyarakat menetapkan cara mengkategorikan orang dan melengkapi berbagai atribut yang dirasakan biasa dan alami bagi anggota dari masing-masing kategori ini. Pengaturan sosial menetapkan kategori orang yang mungkin ditemui di sana)[4]
Goffman membedakkan antara virtual social identity dan actual social identity. Istilah virtual social identity merupakkan bentuk karakterisasi yang dibayangkan dan diharapkan oleh masyarakat sementara istilah actual social identity merupakkan pembuktian dalam perilaku aktual sebagaimana diharapkan masyarakat[5]
Selanjutnya, Goffman menyebutkan ada tiga tipe stigma yang diberikan terhadap seseorang, yaitu :
1. Stigma yang berhubungan dengan kecacatan pada tubuh seseorang (abominations of the body—the various physical deformities) seperti ketidakberfungsian salah satu anggota tubuh
2. Stigma yang berhubungan dengan kerusakan-kerusakan karakter individu (blemishes of individual character perceived as weak will) seperti kaum homoseksual, pemabuk, penjudi, penderita gangguan mental, narapidana, radikalis agama dsj
3. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama (the tribal stigma of race, nation, and religion)[6]
Bagaimana respon mereka yang mengalami stigma dalam kehidupan sosialnya? Erving Goffman mencatat beberapa respon sbb: Pertama, mencoba menyesuaikan diri mereka dan menghilangkan beberapa aspek yang dianggap kelemahan dalam diri mereka yang menimbulkan stigma. Misalkan saja mereka yang mengalami kecacatan akan melakukan operasi plastik atau orang yang mengalami perilaku homoseksualitas akan melakukan pengobatan. Kedua, meunutupi sejumlah kelemahan dengan meningkatkan kemampuan di bidang lain yang tidak mungkin dilakukan dalam keterbatasan fisik mereka seperti menjadi terlatih di bidang olah raga, penerbangan, mentor dll. Ketiga, menganggap kekurangan dirinya sebagai berkat tersembunyi (blessing in disguise)[7]
Berangkat dari analisis sosiologis perihal stigma oleh sosiolog Erving Goffman, maka etnis Tionghoa merupakkan salah satu etnis di dunia yang kerap melekat sebuah stigma negatif pada diri mereka selain Yahudi, Negro Afrika, Arab dll. Dalam kategorisasi Goffman, etnis Tionghoa merupakan obyek dari tribal stigma atau racial stigma.
Jika di era Hitler, Eropa dilanda histeria stigma terhadap bahaya Yahudi maka di Amerika pun hingga kini masih ada sejumlah racial stigma yang tidak mudah dihilangkan terhadap keberadaan orang kulit hitam.
Dalam sebuah studi tentang kelompok etnis di Los Angeles, Sosiolog Camille Charles menganalisis data dari sebuah survei yang dirancang untuk mengukur preferensi di antara berbagai kelompok untuk komposisi etnis dan ras dari lingkungan ideal responden. Dia menemukan bahwa 40% orang Asia, 32% orang Latin, dan 19% kulit putih membayangkan lingkungan ideal mereka, di mana mereka akan merasa paling nyaman tanpa kehadiran orang kulit hitam. Para imigran jauh lebih enggan untuk hidup di dekat orang kulit hitam daripada orang Asia kelahiran asli dan Latin, yang memiliki tingkat "pengecualian hitam"nya (tidak ada kulit hitam di lingkungan yang ideal) sebesar 17% dan 15%, masing-masing. Di antara orang-orang kelahiran asing, 37% orang Latin dan 43% orang Asia membayangkan suatu "lingkungan ideal" dimana tidak ada kehadiran orang kulit hitam di dalamnya[8].
Bahkan dalam angka pernikahan dengan orang kulit hitampun masih didapati sejumlah racial stigma yang berpengaruh besar. Menurut Sensus Penduduk 1990, di antara orang-orang yang menikah dengan usia 25-34 tahun pada tahun 1990, sekitar 70% wanita Asia, 39% wanita Hispanik, tetapi hanya 2% wanita kulit hitam memiliki kulit putih Anglo[9]. Contoh-contoh ini memberi gambaran bagaimana stigma dapat membatasi peluang bagi beberapa orang kulit hitam untuk mengembangkan kapasitas pribadi mereka, untuk menjadi lebih terintegrasi ke dalam masyarakat, dan dengan demikian mengurangi stigmatisasi mereka sendiri.
Respon Terhadap Sosial Stigma: Ulasan Buku
Buku dengan judul, “Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia” – jika menggunakan perspektif Erfing Goffman, merupakan sebuah upaya merespon situasi sosial yang dilekatkan pada mereka melalui saluran peristiwa historis maupun interaksi sosial yang dipenuhi sejumlah prasangka.
Buku yang ditulis oleh 73 penulis dengan etnis berbeda yang di dalamnya termasuk etnis Tionghoa bukan dimaksudkan sebuah kajian ilmiah yang bersifat sosiologis dan historis melainkan penuturan pengalaman pribadi mereka baik sebagai etnis Tionghoa (apapun latar belakang agama mereka) maupun non Tionghoa (apapun latar belakang agama mereka) perihal stigma yang menghantui masa lalu mereka, perlakuan-perlakuan buruk yang diterima baik dari lingkungan tetangga dan tempat pendidikkan mereka.
Terhadap situasi racial stigma yang dialami, ada beberapa respon yang dapat kita temukan dalam buku ini. Pertama, melawan. Melawan dalam artian bukan melakukan pembalasan dan kontak fisik dan kekerasan namun terlibat aktif dalam banyak kegiatan kemasyarakatan maupun aktifitas-aktifitas sosial dan politik sebagaimana dikisahkan Hemasari Dharmabumi yang pernah bekerja di International Union of Food and Allied Workers Association dan menjadi presiden Perserikatan Solidaritas Perempuan serta sejumlah jabatan lainnya (hal 244-250). Dibagian akhir tulisannya, Hemasari mengatakan, “Aku memilih melawan. Melawan seluruh stigma dan stereotype di dalam masyarakat terhadap rasku. Meskipun berketurunan Cina, aku mencintai tanah air ini dengan seluruh jiwa dan ragaku” (hal 250)
Kedua, menegaskan jati diri. Mereka yang berhasil menjalani integrasi dan asimilasi dengan kehidupan sosial sekelilingnya banyak terlibat dalam kegiatan masyarakat sekalipun orang kerap mencurigai dan memandang sebelah mata latar belakang ke-Tionghoan-nya. Namun mereka tidak pernah malu dan meutupi jati diri ke-Tionghoan-nya mereka, sebagaimana dialami Halim Eka Wardana (hal 138-143). Dalam penutup artikelnya, Halim memberikan penegasan, “Sejatinya kita adalah keturunan Tionghoa yang selalu distigmakan buruk dan stereotip negatif lainnya, tetaplah dengan identitas ke-Tionghoa-an tersebut tanpa perlu disembunyikan. Masyarakat pun bisa menerima kita kalau kita pun mau membaur beraktivitas bersama dengan masyarakat” (hal 143).
Buku ini bukan hanya berisikan sejumlah respon terhadap racial stigma yang dialami sejumlah etnis Tionghoa Indonesia namun berisikkan pengalaman-pengalaman yang memperkaya kehidupan dan wawasan mereka sebagaimana dikisahkan Tony Dian Effendi, seorang pengajar di Jurusan Hubungan Internasional dan peneliti pada Centre for Ethnicity and Social Diaspora Studies (hal 132-137). Perihal kekayaan yang dimaksudkan dikatakan demikian, “Lahir sebagai seorang anak dari orang tua campuran Tionghoa-Jawa membuat hidup saya terasa kaya...Saya merasa kaya karena memiliki banyak kosa kata keluarga yang rumit untuk penyebutan keluarga Tionghoa dan keluarga Jawa yang relatif lebih sederhana” Saya juga merasa kaya karena bisa mengenal dan berbicara dalam Kromo Inggil, Madya dan tentu saja Ngoko, meski penguasaan bahasa dialek Tionghoa hanya pada penyebutan angka saja serta beberapa kata yang terbatas jumlahnya” (hal 133).
Buku ini sedikit banyak memberikan gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat Tionghoa Indonesia yang kerap distigma kaya dan kikir, ternyata tidak semua memiliki status ekonomi sebagaimana dibayangkan kebanyakkan orang (155-164). Rebeka Harsono, seorang aktivis perempuan menuliskan, “Setamat saya Postgraduate dari Australia tahun 2000, suasana Reformasi Indonesia 1998 masih terasa hangat dalam pergerakkan Tionghoa sehingga saya disarankan oleh beberpa aktivis muda Tionghoa menyelesaikan Cina miskin yang dibuat menjadi stateless” (hal 155)
Interaksi Sosial Heterogen
Karena proses stigma bersifat sosiologis maka salah satu upaya untuk mengakhiri stigma melalui upaya-upaya sosiologis pula yang salah satunya melalui penciptaan ruang interaksi sosial yang bersifat heterogen.
Di lingkungan masyarakat yang heterogen, proses interaksi sosial dapat dimulai dengan rapat-rapat warga yang melibatkan bukan hanya kehadiran namun pemikiran warga Tionghoa. Demikian pula warga Tionghoa menjadikkan proses interaksi sosial heterogen sebagai sebuah upaya dan kesempatan untuk menghapus sejumlah stigma yang dilekatkan pada mereka.
Warga Tionghoa dapat memulai menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri agar lebih membuka ruang interaksi sosial yang lebih heterogen. Terlepas adanya sejumlah risiko tindakkan bullyng yang masih dapat terjadi dan dialami namun tidak seharusnya menyurutkan upaya untuk menghentikkan siklus stigma melalui pembauran di sekolah.
Upaya berikutnya melalui literasi media dengan menerbitkan berbagai buku terkait Tionghoa baik dari aspek historis maupun sosiologis maupun berbagai pengalaman kehidupan sehari-hari sehingga membuka wawasan masyarakat non Tionghoa mengenai pandangan hidup dan nilai-nilai sosial budaya yang mereka miliki.
Forum bedah buku “Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia” menjadi salah satu upaya menghentikkan proses stigmatik terhadap etnis Tionghoa dikarenakan di dalamnya terdapat berbagai keterangan dan informasi yang memperkaya pemahaman kita terhadap etnis Tionghoa Indonesia yang sebelumnya tidak kita ketahui.
Pada akhirnya, upaya mengakhiri stigma bukanlah jalan mudah dan bukan pula dilakukan oleh salah satu pihak. Diperlukan peran kedua belah pihak (pihak terstigma dan pihak penstigma) dan banyak pihak untuk terus menerus membangun kehidupan sosial yang saling melengkapi dan saling membutuhkan tanpa batasan ras ataupun agama. Dan upaya ini merupakkan jalan panjang yang harus ditempuh semua pihak yang berkepentingan dengan tugas mulia ini.
[1] The Rules of the Sociological Method and Selected Texts on Sociology and its Methods, Free Press 1982
[2] Stigma: Notes On The Management Of Spoiled Identity, Prentice Hall Inc, 1963
[3] Ibid., p. 1-2
[4] Ibid., p. 2
[5] Ibid., p.2-3
[6] Ibid., p.4-5
[7] Ibid., p. 9-11
[8] Glenn C. Loury, Racial Stigma and its Consequences, Focus, Volume 24 Number 1, University of Wisconsin–Madison Institute for Research on Poverty, 2005
[9] Ibid.,
0 Komentar