Resensi dan Catatan Kritis Buku  “Panduan Geowisata: Menelusuri Jejak Dinamika Bumi Pada Rangkaian Pegunungan Serayu Dan Pantai Selatan Jawa”, Karya Chusni Ansori dkk

Ada banyak kegiatan wisata yang dikembangkan baik oleh pemerintahan daerah maupun komunitas dengan mendasarkan pada kekuatan potensial yang dapat dijadikan nilai jual yang bersifat kontributif secara ekonomi. Berbagai kekuatan potensial yang dijadikan nilai jual dalam kegiatan wisata bisa berbasis pada keindahan alam dan konservasi lingkungan (ekowisata) serta industri pertanian (agrowisata), bangunan peninggalan bersejarah (wisata sejarah), situs-situs purbakala dll. Namun wisata berbasis potensi geologis belum banyak digalakkan dan dikelola secara maksimal. Untuk alasan itulah, Ir. Chusni Ansori, M.T., seorang Peneliti Utama Bidang Geologi, LIPI Karangsambung Kebumen bersama rekan-rekannya membuat buku dengan judul Panduan Geowisata: Menelusuri Jejak Dinamika Bumi Pada Rangkaian Pegunungan Serayu Dan Pantai Selatan Jawa diterbitkan oleh LIPI Press 2016 dengan tebal 157 halaman.

Geowisata didefinisikan sebagai, “...jenis wisata minat khusus dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam geologi, seperti bentang alam, batuan penyusun, struktur dan sejarah bumi dengan titik berat kunjungan untuk pengayaan wawasan dalam pemahaman proses pembentukkan fenomena fisik alam” (hal 3). Kebumen merupakan salah satu dari 27 obyek wisata dari 48 obyek wisata yang tersebar di 21 kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki potensi geologis untuk dikembangkan menjadi obyek geowisata (hal 4). Potensi-potensi geologis yang layak dijadikan obyek wisata di Kebumen khususnya meliputi Kawasan Cagar Alam Karangsambung dan Kawasan Karst Gombong Selatan serta sejumlah pantai yang memperlihatkan singkapan geologis.

Dalam Bab II, Ir Chusni Ansori memaparkan secara panjang lebar kawasan Karangsambung yang disebutnya, “...ibarat sebuah buku yang bercerita tentang kebenaran konsep tektonik lempeng dalam bentuk morfologi, singkapan batuan, mineral maupun fosil. Jika di buku hanya dilihat melalui gambar dan tulisan, namun di Karangsambung dapat dilihat langsung di alam” (hal 7). Jika kita berjalan melintasi wilayah Pasar Mertokondo terus ke utara maka kita akan melihat bentang alam dan berbagai batuan besar dan beragam jenis bentuk dan warnanya yang dapat kita temui di sepanjang jalan ataupun tepian sungai Luk Ulo yang membelah kawasan tersebut dari utara ke selatan. Penampakkan batu-batu tadi menjadi bermakna setelah kita memiliki pengetahuan perihal proses-proses geologis yang mengiringi struktur dan formasi serta jenis bebatuan yang menyebar di sepanjang jalan. Proses-proses geologis itulah yang berusaha dijelaskan oleh Ir Chusni Ansori sebagaimana dikatakan, “Secara garis besar, batuan di Karangsambung tersusun dari berbagai jenis dengan lingkungan pembentukkan dan umur yang berbeda-beda serta struktur geologi yang kompleks” (hal 16). Dengan mengutip pendapat Asikin dan Sutoyo, Ir Chusni Ansori menjelaskan klasifikasi formasi batuan yang ada di wilayah Karangsambung meliputi: Kompleks Melange Luk Ulo, Formasi Totogan Karangsambung, Formasi Waturanda, Formasi Penosogan (hal 16-20). Dalam Bab II ini kita mendapatkan sejumlah keterangan dan informasi menarik dengan berspektif geologis perihal asal-usul dan evolusi batuaan-batuan yang selama ini sering kita lihat saat melewati kawasan Karangsambung namun tanpa sebuah teks pengetahuan yang membuat kita mendapatkan pemahaman.

Dalam Bab III, fokus pembahasan ditujukkan kepada keberadaan dan sebaran gua-gua di wilayah Kabupaten Kebumen. Sebagaimana pernah dilansir salah satu media on line, “Kabupaten Kebumen merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang paling banyak terdapat goa alaminya. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Peduli Lingkungan Bukit Seribu Jawa Tengah sejak tahun 1999 hingga tahun 2002, jumlah goa yang ada di Kebumen ada sekitar 263 goa. Kendati demikian, dari sekian banyak goa yang ada tersebut, baru sekitar 10 persenya saja yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kebumen. Sedangkan 90 persen sisanya, sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal" (90 Persen Goa Kebumen Belum Termanfaatkan - http://sorotkebumen.com/berita-kebumen-244-90-persen-goa-kebumen-belum termanfaatkan.html), maka dalam bagian ini kita diajak memahami genealogi (asal usul) dan morfologi (bentuk) gua yang merupakan bagian dari proses yang dinamakan Karstifikasi. Karst sendiri diartikan, “...morfologi yang terjadi pada batu gamping atau dolomit yang telah mengalami proses pelarutan oleh asam karbonat (terbentuk oleh air hujan dan asam karbon di udara dan di lapisan tanah) dan beberapa jenis asam lainnya sebagai hasil pembusukkan sisa tanaman di atas batu gamping” (hal 39).

Melalui kajian proses kartstifikasi kita mendapat pengetahuan perihal proses pembentukkan karst di permukaan (eksokarstik) yang meliputi, doline, uvala, polje, danau karst, sinkhole. Bukan hanya proses pembentukkan karst di permukaan (eksokarstik) namun juga terjadi di bawah permukaan yaitu gua-gua yang meliputi, stalaktit, stalakmit, helektit, flow stone, gordyn, gourdam. Selain proses karstifikasi di atas dan bawah juga terjadi proses hidrologi karst atau peresapan air tanah di dalam batu gamping. Gua bukan sekedar ruang di bawah tanah melainkan melibatkan berbagai proses unik sebagaimana dijelaskan, “Proses pembentukkan gua merupakan suatu proses yang rumit dan menarik untuk dipahami. Sebagai suatu proses alam yangmerupakan hasil interaksi antara faktor eksternal maupun internal, hal tersebut akan membentuk fenomena di dalam dan di luar gua. Faktor eksternal dapat berupa iklim, curah hujan dan aktifitas manusia sedangkan faktor internal mencakup jenis batuan dan struktur geologi” (hal 46).

Adapun Bab IV mengulas perihal fenomena geologis yang terkandung sepanjang wilayah pantai selatan mulai dari Pangandaran hingga Parangtritis termasuk fenomena pembentukkan laguna dan gumuk pasir. Sebagai misal di Kebumen ada kawasan laguna Lembu Purwo dan proses pembentukkan laguna dijelaskan sbb, “Laguna terbentuk karena proses transgression pada masa holosen sehingga muka laut pada posisi +5 m dari sekarang, kemudian diikuti pembentukkan pematang pantai oleh proses angin” (hal 83). Demikian pula fenomena gumuk pasir di wilayah pantai-pantai Kebumen. Gumuk Pasir dan jenis-jenisnya dijelaskan sbb, “...gundukkan bukit atau igir dari pasir yang terembus angin dan terbentuk secara alamiah karena proses angin (eolian morphology)...Bentuk gumuk pasir bermacam-macam, bergantung pada faktor jumlah dan ukuran butir pasir, kekuatan dan arah angin, serta keadaan vegetasi. Bentuk gumuk pasir pokok meliputi bentuk melintang (transverse), sabit (barchan), parabola (parbolic) dan memanjang (longitudinal dune)” (hal 88)

Bab V yang merupakan penutup pengkajian potensi-potensi wisata di wilayah yang mengandung fenomena geologis berupa kegunungapian baik yang masih aktif ataupun sudah mati, mulai dari gunung Slamet di Purwokerto hingga gunung Merapi di Yogyakarta termasuk bekas gunung api yang sudah mati dan saat ini dijadikan obyek wisata yaitu gunung api purba Nglanggran di Gunung Kidul. Melalui kajian dalam buku ini kita mendapatkan keterangan berharga perihal jenis batuan dan formasi batuan serta umur batuan di kawasan Nglanggran sbb: “Batuan penyusunnya terdiri atas breksi gunung api, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal serta lava andesit. Breksi gunung api dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2-50 cm...Dari hasil analisis fosil yang terkandung dalam batuan diperoleh keterangan, “Berdasarkan data fosil yang ad, disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah miosen awal-miosen tengah bagian bawah” (hal 113).

Buku ini memiliki sejumlah nilai lebih yaitu: Pertama, memberikan perspektif geologis terhadap sebuah locus yang selama ini menjadi lokasi wisata yang dikunjungi dan hanya dilihat dari aspek keindahan alam dan bebatuannya tanpa mengerti konteks terjadinya struktur batuan, bentang alam yang membentuk keindahan tersebut. Bisa dikatakan, obyek alam berupa bebatuan, gumuk pasir, laguna, gua, pantai memiliki konteks geologisnya sendiri. Kedua, menawarkan wilayah-wilayah dengan potensi geologis tersebut dikelola menjadi wilayah wisata berbasis geologis yang tentu saja memerlukan jasa dan tenaga individu yang kompeten memberikan konteks dan penjelasan kepada wisatawan terkait keberadaan obyek wisata yang mengandung potensi geologis. Ketika memasuki kawasan Gua Jatijajar wisatawan diedukasi perihal proses kartsifikasi, ketika memasuki wilayah pantai Menganti wisatawan diedukasi perihal struktur dan formasi batuan gamping dan penyebab keberadaan pasir-pasir putih menghampar, ketika menaiki gumuk pasir wisatawan diedukasi perihal asal usul dan bentuk-bentuk gumuk pasir. Inilah contoh aplikasi penerapan wisata berbasis geologi yang bersifat edukasi.

Sekalipun penjelasan dalam buku ini bersifat populer namun tetap saja sepanjang ulasan dalam buku ini dipenuhi dengan berbagai terminologi (istilah) yang asing berkaitan dengan ilmu geologi sehingga membuat pembacanya yang tidak familiar dengan ilmu Geologi dan terminologinya harus mengulang membacanya dan mengeryitkan dahi untuk mengartikannya. Namun demikian, di bagian belakang buku ini disediakan daftar Glosarium yang cukup panjang (hal 135-142) sehingga pembaca dapat memahami arti dan makna dibalik sejumlah istilah yang asing dan pelik tersebut.

Buku ini layak dimiliki baik oleh para pelaku wisata baik pemerintahan daerah maupun komunitas, mahasiswa, guru serta pengamat kewisataan sebagai sebuah perspektif dalam meningkatkan kegiatan kewisataan berbasis potensi geologis.