Jika kita memperhatikan dengan seksama wilayah Gombong, maka didapati sejumlah bangunan khas etnis Tionghoa klasik yang masih bertahan hingga kini di sejumlah ruas jalan. Sebut saja yang terkenal dan kini dijadikan museum sekaligus kegiatan kebudayaan yaitu Rumah Martha Tilaar (RMT) yang bercorak the Dutch Colonial. Rumah ini didirikan tahun 1920 milik Liem Siaw Lan putra kedua Liem Kiem Seng/Song, seorang Tionghoa yang datang dari Desa Jinli, Kota Haichang, Xianmen, China. Kemudian gedung khas Tionghoa yang berdiri di tepi perhentian lampu merah menuju Sempor. Menurut informasi dahulunya adalah pabrik rokok dengan nama Nusa Harapan. Sayang kondisinya tidak terawat hingga hari ini sekalipun kondisi gedung masih nampak utuh jika dipandang dari luar.
Yang menarik dalam presentasi yang disampaikan Sigit Tri Wibowo selaku Deputi Program Rumah Budaya Martha Tilaar pada pertemuan Pegupon Kopong (Pertemuan Minggu Pon Komunitas Pusaka Gombong) Tanggal 20 Desember 2015 lalu perihal perkembangan lembaga-lembaga pendidikan di Gombong pada zaman kolonial, ternyata ditemukan beberapa sekolah yang didirikan untuk etnis Tionghoa yaitu Holland Chinese School yang didirikan oleh pemerintah Belanda (berlokasi di Jl. Sempor Lama 28) dan Zong Hua Xue Xiao yang didirikan oleh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) (berlokasi di Jl. Sempor Lama 2) selain sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda, badan Misi Kristen, serta masyarakat seperti Neutrale Lagere School, Twede School, Pupilen School, Kartini School, Christelijke Holands Hollands Javanse, Schaalkel School, Europeesche Lagere School(Kebumen Ekspres, 22 Desember 2015).
Eksistensi rumah ataupun pabrik yang bercorak Tionghoa klasik di Gombong yang bertahan hingga kini dan sejumlah lembaga pendidikan untuk etnis Tionghoa yang gedungnya sudah beralih fungsi paska kemerdekaan memberikan sebuah rekaman historis bahwa Gombong adalah kota yang memiliki daya tarik bagi etnis Tionghoa untuk datang dan membangun usaha perekonomian di kota ini khususnya di era kolonial.
Sebelum kolonialisme Hindia Belanda tiba, keberadaan etnis Tionghoa telah lama masuk ke Nusantara sekitar Abad 4 Ms. Ini nyata dari sejumlah catatan bersejarah yang ditulis oleh para rohaniawan Tionghoa yang berkunjung ke Jawa dan Sriwijaya. Prof. Slamet Mulyana menuliskan fakta sejarah dengan menyebutkan beberapa nama seperti Fa Hien yang menuliskan perjalanan ziarahnya antara tahun 399 sampai 414 dengan judul Fahueki. Kemudian rohaniawan I Tsing yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan menuliskan buku sejarahnya dengan judul Nan-hai-chi-kuei-naifa-chuandan Ta-t’ang-si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan. Kemudian pada ekspedisi pertama laksamana Ceng Ho tahun 1405 singgah di bandar Samudra Pasai hingga menimbulkan hubungan baik antara Tiongkok dan Samudra Pasai dan menarik para saudagar Tiongkok datang ke Pasai. Bahkan dalam kajiannya yang kontroversial Prof Slamet Mulyanan mengidentifikasi bahwa beberapa dari anggota Wali Songo serta pemimpin Demak berdarah Tionghoa (Prof. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, 2013:1-99).
Sekalipun etnis Tionghoa telah memasuki Nusantara Abad 4 Ms, namun era kolonial adalah era yang penting untuk memahami perkembangan etnis Tionghoa. Sebagaimana dikatakan sejarawan bertenis Tionghoa yaitu Onghokham, “Masyarakat Tionghoa di Jawa sudah datang jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia. Akan tetapi, segala sesuatu tentang masyarakat Cina di Indonesia khususnya di Jawa dan juga di beberapa daerah lain yang kita kenal sekarang ini, bentuk perilaku dan seterusnya, berasal dari zaman kolonial, dari zaman Hindia Belanda”(Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia, 2008:1). Mengapa dikatakan bahwa etnis Tionghoa menjadi penting di era kolonial, beliau melanjutkan dalam tulisannya, “Pada awalnya, Belanda datang ke Indonesia tidak secara besar-besaran. Oleh karena itu, kekuatan asing itu selalu memerlukan mitra-mitra dagang. Cina menjadi mitra dagang Belanda, khususnya di bidang distribusi, tidak di bidang perdagangan perantara. Itulah sebabnya orang-orang Cina menguasai perdagangan perantara” (Ibid). Bahkan dibagian lain Onghokham menuliskan bahwa sejak didirikannya Batavia oleh J.P. Coen dan menjadi gubernur jenderal pada tahun 1619 telah berhubungan dan menjadikan etnis Tionghoa sebagai “aset ekonomi yang penting” (Ibid.,hal 55).
Berangkat dari penjelasan Onghokham mengenai hubungan historis antara etnis Tionghoa dengan pemerintahan Hindia Belanda tersebut, maka keberadaan etnis Tionghoa di Gombong pada era kolonial harus dibaca dan dipahami dalam konteks tersebut. Artinya, Gombong di era kolonial sempat menjadi pusat kekuatan militer Belanda dengan keberadaan Fort Cochius/ Fort Generaal Cochius atau sekarang bernama Benteng Van der Wijck yang sebelumnya merupakan bangunan kantor Kongsi Dagang VOC di Gombong (tarikh pendirian lokasi masih terjadi kesimpangsiuran sekalipun di pintu gerbang tertulis angka 1818).
Sejak awal baik kongsi dagang VOC maupun Hindia Belanda sudah menjadikan etnis Tionghoa sebagai mitra dagang, maka keberadaan pusat kekuatan militer di Gombong menjadi sebuah lokasi yang aman bagi etnis Tionghoa untuk mengembangkan usaha perekonomiannya. Kondisi yang aman bagi usaha ekonomi dan hubungan yang telah terbangun dengan pemerintahan Hindia Belanda selama ini tentu saja menarik minat dan menjadikan Gombong sebagai kota dengan daya tarik ekonomi bagi Etnis Tionghoa. Keberadaan rumah-rumah bercorak etnis Tionghoa klasik dan sejumlah pabrik serta bekas gedung sekolahan untuk etnis Tionghoa membuktikan bahwa Gombong menjadi kota yang menjadi daya tarik bagi etnis Tionghoa untuk menetap dan mengembangkan usaha di kota ini terkhusus dengan keberadaan pusat pertahanan militer Hindia Belanda sebagai simbol keamanan.
Sekalipun etnis Tionghoa baik di Batavia ataupun di wilayah Jawa mendapatkan semacam hubungan keistimewaan, bukan berarti hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan etnis Tionghoa tanpa masalah dan konflik. Terhitung tahun 1740 yang dikenal dengan Geger Pacinan dimana etnis ia oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan memakan korban 10.000 etnis Tionghoa. Selain pembantaian 1740, pemerintahan Hindia Belanda pun melakukan pembatasan gerak gerik etnis Tionghoa melalui pemberlakuan passenstelsel dan wijkenstelsel (sistem pas jalan dan perkampungan) sebagaimana diulas oleh Onghokham (Ibid., hal 13).
Kiranya kajian yang bersifat interpretatif historis ini dapat memberikan sedikit gambaran perihal keberadaan dan dinamika etnis Tionghoa di Gombong era kolonial beserta peninggalan bangunan bernilai historis agar dapat dirawat sesuai ketentuan undang-undang dan menjadi kekayaan sejarah sosial masyarakat Gombong.
0 Komentar