Sekalipun diberi judul “Kristen Abangan Ala Sadrach” namun Hendri F. Isnaeni tidak memberikan definisi dan alasan mengapa Sadrcah disebut sebagai “Kristen Abangan”. Namun dari pendahuluan artikelnya saya dapat meraba maksud pernyataan penulis yaitu, “Para pekabar Injil Belanda kelabakan mencari jalan bagaimana agar orang-orang Jawa menjadi Kristen yang sungguh-sungguh. Masyarakat Jawa tak ingin tercerabut dari akar budayanya yang telah dipegang teguh jauh sebelum Kristen datang. Lain halnya dengan para pekabar Injil awam Indo-Eropa yang memperhatikan budaya lokal. Maka muncullah jemaat bumiputera berpenampilan Jawa. Mereka disebut “jemaat Sadrach” karena pemimpinnya adalah penginjil Jawa kharismatik, Sadrach Surapranata”(http://historia.id/agama/kristen-abangan-ala-sadrach). Dari pemaparan awal saya berusaha meraba maksud penulisan judul tersebut bahwa ada dikotomi jenis Kekristenan yang pernah berjaya di era kolonial dan berpusat di Karangyoso (Kutoarjo, 40 menit perjalanan dari kota saya tinggal, Kebumen) yaitu “Kekristenan Belanda” dan “Kekristenan Jawa” dan model Kekristenan Jawa yang diusung Sadrach ini dilabelisasi dengan istilah “Abangan”. Benarkah Kiai Sadrach adalah seorang pemimpin Kristen Abangan? Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita melakukan pelacakkan terlebih dahulu asal usul kata “Abangan” tersebut.
Melacak Makna Istilah “Abangan”
Istilah “Abangan” biasanya menujuk pada sebuah golongan dalam masyarakat Jawa atau lebih luas dari itu yang mempraktekkan keislaman namun tidak secara menyeluruh sebagaimana didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sbb: “1.Abang-an Jw n. golongan masyarakat yg menganut agama Islam, tetapi tidak melaksanakan ajaran secara keseluruhan”(http://kbbi.co.id/arti-kata/abangan). Namun istilah “Abangan” menjadi populer sejak Clifford Geertz (lahir 1926) menerbitkan bukunya pada tahun 1960 dengan judul “The Religion of Java” (di Indonesia diterjemahkan “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, terj. Aswab Mahasin, Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981). Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi. Clifford Geertz pernah mengajar di Universitas Chicago, sebagai profesor antropologi dan kajian perbandingan negara-negara baru. Ia juga pernah mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975 hingga pensiun pada tahun 2000 (Biography of Clifford Geertz - http://www.researchover.com/biographies/Clifford_Geertz-28238.html).
Dalam buku terbitan berbahasa Indonesia, pada kata Pendahuluan, Geertz memberikan latar belakang trikotomi istilah Abangan dan Santri serta Priyayi sebagai hasil penelitiannya di desa Mojokuto sbb: “Lima jenis mata pencaharian utama ini – petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh pasar dan pegawai, guru atau administratur – mewakili penduduk Jawa asli di Mojokuto, dikelompokkan menurut kegiatan ekonomi mereka. Tipologi pola pekerjaan yang telah dikristalisasikan ini mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini darimana tipologi ini dihasilkan. Demikian juga penggolongan penduduk menurut pandangan mereka – menurut kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka – menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa sebagaimana dicerminkan di Mojokuto, ide umum tentang ketertiban yang berkenaan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan. Tiga tipe kebudayaan ini adalah abangan, santri dan priyayi” (Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981, hal 6). Kemudian Geertz melanjutkan dengan memberikan definisi masing-masing istilah tersebut sbb: “Abangan, yang mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa yang melingkupi semuanya, dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani; santri yang mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang (dan kepada elemen tertentu di kalangan tani juga); dan priyayi yang menekankan pada aspek-aspek Hindu dan dihubungkan dengan elemen birokratik – semuanya ini, dengan demikian, merupakan tiga subtradisi utama yang akan saya gambarkan” (Ibid., hal 8).
Jika menilik dari aspek definisi yang dikemukakan Geertz maka mereka yang dikategorikan seorang “Abangan” (Islam) adalah mereka yang terkategori, “mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa yang melingkupi semuanya, dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani”. Namun belakangan ini muncul beberapa kajian yang berusaha melacak darimana istilah “Abangan” muncul yang menarik sampai jauh ke belakang hingga zaman para Walisongo, dimana pada masa itu terbagi dua kelompok dalam Walisongo yang memiliki pendekatan berbeda dalam dakwah di tanah Jawa yaitu kelompok wali-wali ortodoks yang terdiri atas Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat. Mereka kemudian disebut wali-wali futi’ah. Di sisi lain, ada kelompok para wali yang lebih moderat dan luwes dalam dakwahnya terdiri atas Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati. Belakangan, Sunan Kudus ikut mengembangkan cara dakwah yang luwes dengan budaya lokal. Mereka kemudian disebut wali-wali aba’ah (R. Atmodarminto, Babad Demak; Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta: Banyu Mili 2009). Jika menilik dari definisi kata “Aba’ah” maka mereka yang menjalankan keislaman dengan tidak meninggalkan akar kebudayaannya dalam hal ini Jawa, masuk dalam kategori ini.
Dari perbandingan istilah “Abangan” dan pelacakkan historis ternyata istilah “Abangan” sendiri telah mengalami banyak pergeseran makna. Jika mengikuti definisi dari Babad Demak, maka istilah yang diduga berasal dari kata “Aba’ah” yang kemudian berkembang menjadi istilah “Abangan” telah mengalami pergeseran makna dari jenis keislaman yang berakar pada kebudayaan Jawa menjadi keislaman yang bercorak sinkretis animistis bahkan menjadi sebuah istilah yang lebih stigmatis sebagai kelompok keislaman yang tidak sepenuhnya melaksanakan syariat sebagaimana didefinisikan oleh KBBI.
Riwayat Sadrach dan Karya Pekabaran Injil di Tanah Jawa
Karena penggunaan istilah “Abangan” lebih familiar di telinga mayoritas masyarakat kita karena dipopulerkan oleh Clifford Geertz melalui bukunya “The Religion of Java”, maka kita akan menggunakan istilah ini untuk menerapkan pada aktifitas pekabar Injil Jawa bernama Sadrach Soeropranoto. Siapakah Sadrach sebenarnya? Berikut saya kutipkan kembali sejarah ringkas Kiai Sadrach dari artikel saya sbb (Menimbang Karya Pekabaran Injil Kiai Sadrcah Soeropranoto -http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.co.id/2013/04/menimbang-karya-pekabaran-injil-kiai_6975.html):
Asal Usul Sadrach
Mengenai tanggal yang pasti dari kelahiran beliau, tidak didapatkan data yng akurat. Menurut Adrianse dalam “Sadrach’s Kring” dan Lion Cachet dalam “Een Jaar” serta manuskrip Karangyoso yang disusun oleh Yotham Martareja dengan judul “Sejarah Adeging Greja Karangyasa”, diperoleh data bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1835 di wilayah Jepara, Demak atau desa Luring dekat Semarang. Beliau dilahirkan dari keluarga petani. Nama kecil beliau adalah Radin dan menganut agama Islam.
Sadrach Pra Pertobatan
Beliau menempuh pendidikan di pesantren sejak usia 6-10 tahun. Sejak muda beliau senang belajar agama dan mendalami “ngelmu” sesuai kebiasaan masyarakat Jawa pada Abad XIX dan sebelumnya. Beliau senang melakukan kegiatan asketik berupa pertapaan dan berguru ke berbagai pesantren baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Karena penguasaannya pada ilmu-ilmu keislaman, beliau menambahkan pada namanya “Abbas”, sehingga lengkapnya menjadi “Radin Abbas”. Titik balik kehidupan beliau dimulai saat bertemu dengan mantan guru ngelmunya yang bernama Kurmen. Kurmen telah memeluk agama Kristen melalui karya pekabaran Injil Kiai Tunggul Wulung. Singkatnya, Radin Abbas tertarik pada kekristenan dan menginginkan untuk mengalami permandian baptis. Beliau di bawa ke Batavia oleh Tunggul Wulung dan dipekerjakan di rumah Anthing dan pada Tgl 14 April 1867, beliau memutuskan untuk dibaptis. Nama baptis beliau adalah “Sadrach” sehingga nama beliau sejak itu adalah “Sadrach Radin Abbas” namun pada perkembangan selanjutnya lebih akrab di sapa “Kiai Sadrach”.
Sadrach Paska Pertobatan
Sadrach Paska Pertobatan
Setelah proses baptisan, Sadrach menjadi penyebar literatur Kristen yang diterbitkan oleh Anthing dan juga mempelajari pola pelayanan Tunggul Wulung mengenai pembukaan desa kristen di Jawa Timur. Pada suatu hari, saat di desa Bondo, Jawa Timur, beliau mendapatkan “wangsit” (suara atau penglihatan supranatural) untuk pergi ke suatu tempat yang akan ditujukan oleh suara itu. Dengan berat hati Sadrach meninggalkan desa kristen yang telah dibangunnya bersama Tunggul Wulung dan berketetapan untuk pergi mengikuti panggilan suara ghaib tersebut. Sampailah perjalanannya di wilayah Karangyoso, Kutoarjo dan menjalin kerjasama pelayanan bersama Steven dan Nyonya Philip dari Purworejo. Bahkan beliau diangkat menjadi anak. Dari Karangyoso inilah kemudian Sadrach membangun komunitasnya dan memperluas pengaruh Injil dalam kehidupan masyarakat Jawa Islam.
Wilayah Pelayanan Sadrach
Sampai tahun 1899, pelayanan Sadrach meliputi Purworejo, Bagelen, Banyumas, Tegal, Pekalongan, Searang, Yogykarta, Surakarta. Laporan terakhir tahun 1933, jemaat Sadrach yang tersebar saat kematiannya berjumlah 7552 dengan jumlah jemaat lokal sebanyak 86 yang tersebar di berbagai wilayah tanah Jawa.
Metode Pelayanan
Sebagai pekabar Injil dengan latar belakang Jawa dan ngelmu, beliau melakukan pekabaran Injil dengan cara yang unik. Dia menempatkan kuasa kebangkitan Yesus Kristus sebagai sentrum pemberitaannya. Metode beliau adalah perdebatan dan diskusi dengan para kiai dan guru ngelmu dari berbagai kalangan pesantren. Jika para guru ngelmu maupun para kiai tersebut tidak mampu mengalahkan argumentasi Sadrach, maka mereka dan para muridnya harus mengikuti Sadrach masuk dalam kekristenan. Tuhan mengaruniakan hikmat dan kuasa sehingga dalam berbagai kesempatan perdebatan, beliau selalu memperoleh kemenangan dan keberhasilan. Beberapa kiai ternama di zaman itu seperti Kasanmetaram, Karyadikrama, Wiradikrama, dll telah bergabung dan menjadi pengikut setia Sadrach. Orang-orang yang bertobat akan diserahkan pada pekabar Injil Belanda untuk dikatekisasi kemudian dibaptis. Dalam beberapa kesempatan beliau diijinkan Tuhan untuk mendemonstrasikan kuasa-Nya dengan mendoakan orang mati menjadi bangkit kembali, mengusir kuasa gelap yang menghuni sawah angker, menutup kedung angker dan mengubah menjadi rumah tinggal dan bangunan ibadah, mengalahkan perampok kacu merah yang hendak merampok kediaman Sadrach.
Karakteristik Jemaat Sadrach
Jemaat Sadrach tidak mencabut dirinya dari akar kebudayaannya sebagai orang Jawa, meskipun sudah menjadi orang Kristen. Berbagai praktek budaya lokal tetap dipelihara namun terjadi pemangkasan, terutama yang tidak sesuai dengan nilai dan norma kristiani seperti candu, madat, poligami, tayuban, doa arwah, judi.
Spiritualitas Sadrach
Sadrach mempercayai Yesus sebagai Junjungan Agung & Juruslamat yang berkuasa, yang mengalami kebangkitan dari kematian serta berkuasa menaklukan roh-roh jahat. Bahkan Sadrach percaya bahwa Yesus adalah sosok Ratu Adil yang dirindukan dalam berbagai kepustakaan sastra apokaliptik Jawa. Khotbah Sadrach menekankan kekuasaan dan kejayaan Mesias yang bangkit dari kematian. Nabi-nabi lain telah wafat termasuk Muhamad namun Yesus Sang Mesias bangkit dan mengalahkan maut. Sadrach pun menekankan moralitas dan kesalehan sosial pada pengikutnya sebagai refleksi ketaatan pada Yesus Sang Ratu Adil yang akan datang.
Konflik dengan pemerintahan kolonial Belanda
Ketika itu terjadilah konflik antara Sadrach dan pengikutnya dengan beberap misonari Belanda yang berkarya di Jawa. Mereka menuduh Sadrach melakukan praktek sinkretisme, okultisme dan melawan pemerintah Belanda serta menganggap dirinya adalah pengejewantahan Ratu Adil, ingin mendapatkan perlakukan istimewa dari pengikutnya dengan cara dicium telapak kakinya, dll. Sebenarnya, berbagai konflik dan rumor yang beredar disebabkan oleh beberapa faktor penyebab yatu: (1) Iri hati dengan keberhasilan Sadrach dalam memberitakan Injil, (2) Salah paham dengan metode pekabaran Injil Sadrach, (3) Salah paham dengan sikap Sadrach saat menolak vaksinasi massal penyakit cacar (Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach & Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX, BPK Gunung Mulia, Jakarta & Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2001, hal 192-240). Tidak semua misionari Belanda membenci Sadrach. Ada beberapa misionari Belanda yang emphati dan mendukung pelayanan Sadrach seperti Wilhelm dan Nyonya Philip.
Komunitas Sadrach Paska Kewafatannya
Sebelum menghadap Tuhan dan Juruslamatnya, jemaat yang digembalakan beliau diserahkan di bawah naungan “Apostolische Kerk” (Gereja Kerasulan) di Magelang. Beliau tidak ingin menyerahkan perlindungan terhadap jemaatnya di bawah naungan gereja-gereja Belanda karena konflik dan sikap Belanda yang kurang kooperatif terhadap beliau. Sejak beliau bergabung dengan “Apostolische Kerk”, beliau diberi ditahbiskan dan diberi gelar “rasul” pada Tgl 30 April 1899. Beliau meninggal dengan tenang pada Tgl 14 November 1924 pada usia di atas 90 tahun. Paska kewafatan Sadrach, terjadi perpecahan di dalam tubuh jemaat. Ada yang menginginkan tetap bergabung dengan Gereja Kerasulan namun sebagian ada yang menginginkan bergabung dengan “Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland” (GKN). Akhirnya jemaat terbagi dua. Sebagian bergabung dengan “Apostolische Kerk” (Gereja Kerasulan) dan sebagian bergabung ke “Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland”(GKN) yang kelak menjadi Gereja Kristen Jawa.
Kiai Sadrach Bukan Pemimpin Kristen Abangan
Jika kita menggunakan perspektif Clifford Geertz maka istilah “Abangan” tidak tepat dilekatkan pada sosok Kiai Sadrach dengan beberapa alasan: Pertama, menilik dari latar belakang pendidikan beliau ternyata bukan orang awam dalam pengetahuan dan praktik agama. Beliau berasal dari tradisi pesantren dan berhasil “menaklukan” gurunya dan para guru pesantren dalam berbagai metode debat agama. Jika menggunakan terminologi Geertz sangat jelas bahwa Sadrach Soeropranoto lebih tepat disebut dari golongan “Santri” tinimbang “Abangan”. Bahkan C. Guillot memberikan penilaian tentang Sadrach sbb: “Sebagaimana halnya Coolen, Ibrahim pun kurang terpelajar. Keduanya memiliki sikap ‘orang lapangan’, berbda dengan Tosari dan Sadrach yang lebih memiliki figur ‘intelektual’ dengan membaca dan menafsirkan Kitab Suci” (Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa, Jakarta: Grafiti Pers, 1981, hal 45).
Kedua, Sadrach adalah seorang tokoh pemimpin agama yang memiliki pengalaman hidup yang kaya dikarenakan pertemuannya dengan berbagai tokoh yang kelak mempengaruhi pemahaman Kristologis (konsep ajaran mengenai Kristus) dan Soteriologisnya (konsep ajaran mengenai keselamatan) sebagaimana dikatakan Soetarman Soediman Partonadi, “Tak dapat dihindari bahwa pemahaman Sadrach tentang Kristus dan Injil diwarnai oleh pengalaman-pengalaman hidup yang kaya semacam itu, yang beberapa diantaranya akan kita perhatikan lebih rinci” (Komunitas Sadrach & Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX, hal 259). Pengayaan pemahaman Sadrach selain berakar dari tradisi pesantren, menurut penelitian Soetarman Soediman Partonadi juga dipengaruhi dari beberapa faktor yaitu, tadisi pencari ngelmu, perjumpaan dengan Anthing yang bergerak di bidang penyebarluaskan literatur Kristen dimana Sadrcah pernah bekerja padanya, perjumpaannya dengan Kiai Tunggul Wulung di Jawa Timur seorang pekabar Injil Jawa yang berasal dari Islam serta perjumpaan dengan Stephen dan nyonya Philips yang pernah menggembalakan jemaat di Purworejo. Oleh karenanya mustahil melemahkan pemahaman Sadrach mengenai Kristologi dan Soteriologinya dan menudingnya hanya sebagai tokoh Kristen Abangan yang sinkretis.
Ketiga, Sadrach menerapkan metode inkulturasi otentik sebagaimana model dakwah “Aba’ah” yang dijalankan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang yang lebih adaptif dan mendarat dalam pemahaman kultur Jawa. Proses inkulturasi inilah yang terbaca oleh para pekabar Injil Belanda sebagai sinkretisme dan animisme. Dan dalam derajat tertentu dianggap mewakili golongan “Abangan”. Sekalipun pola pendekatan pekabaran injil Sadrach dituduh mempraktekan ngelmu namun sejatinya Sadrach memiliki pemahaman tentang Yesus tepat sebagaimana dikatakan Kitab Suci. Sadrach telah mengalami perjumpaan spiritual dengan Juruslamat-Nya yang mempengaruhi seluruh motifasinya dalam memberitakan Injil. Metode pekabaran Injil Sadrach sangat menarik al., diskusi dan perdebatan antara guru ngelmu serta pemimpin pesantren yang beliau datangi. Banyak yang mengaku kalah hikmat dengan Sadrach dan akhirnya mengikuti Sadrach sebagai guru. Pusat pemberitaan Sadrach berpusat pada (1) kuasa Yesus dan (2) Kebangkitan Yesus dari kematian (3) Yesus sebagai Ratu Adil. Soetarman Soediman Partonadi menjelaskan sbb: “Konsep Yesus sebagai guru dan Yesus sebagai ratu adil adalah sosok-sosok yang mudah ditrima oleh orang-orang Kristen”(Ibid.,hal 266). Selanjutnya beliau memberikan penjelasan, “Harus dicatat bahwa kristologi dan soteriologi Sadrach yang dikembangkan dalam konteks Jawa menekankan unsur yang sangat penting dari Injil tetapi kurang ditekankan dalam teologi pekabar Injil Belanda. Unsur-unsur semacam itu termasuk pentingnya perbuatan baik, kesalehan, disiplin diri, ketaatan kepada hukum Allah, mengikuti teladan Kristus dan pelayanan kesembuhan serta pengusiran setan...Mengikuti jejak Sang Guru Yesus sebagai guru dan panutan yang sempurna, saleh serta penuh kuasa dan berwibawa yang diberitakan oleh Sadrach itu pada hakikatnya merupakan Kristologi Sadrach”(Ibid., hal 267). Mengenai pemahaman terhadap kebudayaan, ternyata Sadrach tidak begitu saja melakukan sinkretisasi budaya Jawa dengan keimanannya kepada Yesus Sang Mesias. Beliau dengan seksama memilih dan memilah budaya mana yang masih dapat dipertahankan dan dipelihara untuk mengekspresikan iman Kristen. Soetarman Soediman Partonadi kembali mengulas, “Dalam usaha penyelarasan itu, Sadrach mengambil alih banyak unsur dari Islam abangan, misalnya sistem pendidikan paguron, hubungan guru murid, dan pemanfaatan guru-guru setempat untuk berfungsi sebagai imam jemaat-jemaat setempat. Dia juga mempertahankan adat istiadat Islam seperti pemisahan tempat duduk bagi laki-laki dan perempuan di gereja, penggunaan kerudung bagi perempuan, penggunaan istilah mesjid untuk gereja dan imam untuk para pemimpin mereka”(Ibid., hal 250). Penggunaan tembang Jawa untuk menghafalkan doa Bapa Kami, doa pagi, doa malam, doa makan, Pengakuan Iman sangat efektif mendaratkan Injil pada orang Jawa. Soetarman menuliskan, “Penggunaan tembang untuk mengkomunikasikan Injil memiliki arti penting. Tembang telah digunakan dalam kesustraan Jawa selama nberabad-abad dan merupakan bentuk komunikasi yang sangat populer. Tembang terutama digunakan dalam pengajaran moral dan etika, khususnya dalam kesusastraan Jawa kuno”(Ibid., hal 162). Yang tidak kalah menariknya adalah pembuatan bangunan Gereja dengan format masjid dengan susunan atap lapis tiga yang melambangkan Bapa-Anak-Roh Kudus. Di atas atap ada baling-baling berbentuk pusaka senjata Pasopati (pusaka Arjuna) dan senjata Cakra (pusaka Prabu Kresna) yang melebur jadi satu. Makna lambang tersebut bahwasanya kematian Yesus Sang Mesias telah melebur dosa dan kebangkitan-Nya harus diwartakan ke delapan penjuru mata angin. Dari kutipan Soetarman Soediman Partonadi saya tidak sepakat dengan pernyataan beliau saat mengatakan, “Sadrach mengambil alih banyak unsur dari Islam abangan misalnya sistem pendidikan paguron, hubungan guru murid, dan pemanfaatan guru-guru setempat untuk berfungsi sebagai imam jemaat-jemaat setempat”, karena apa yang dideskripsikan sebagai konsep Islam “Abangan” justru lebih memperlihatkan model Islam “Santri”. Senada dengan deskripsi Soetarman Soediman Partonadi mengenai konsep pemahaman Kristologis dan Soteriologis Sadrach, C. Gullot pun memberikan deskripsi yang sama, “Akan tetapi, bila diteliti lebih jauh, maka kelihatan bahwa Sadrcah memang ingin memelihara tradisi Jawa sebaik mungkin sejauh tradisi tradisi Jawa itu dapat dikristenkan. Namun, ketika ia merasa bahwa tradisi tersebut dipenuhi unsur-unsur kekafiran, maka Sadrach pun berusaha menghapuskannya. Misalnya, ia membagi-bagikan keris kepada murid-muridnya, sebagaimana dilakukan juga oleh guru-guru lainnya, tetapi terlebih dahulu keris itu diberkatinya. Dia percaya kepada roh-roh jahat, seperti juga diakui oleh Qur’an dan Injil; sebagai guru, dia mengusir roh jahat tersebut, tetapi ia melakukannya atas nama Tritunggal: ‘Atas nama Bapa, Putra, Roh Suci. Hindarkanlah kami dari seluruh marabahaya, dari racun tanaman, dari racun yang dibuat oleh manusia. Hai tanah yang berhantu, hilanglah kekuatanmu…”(Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa, hal 198).
Perselisihan Sadrach dengan para Zending Belanda lebih dikarenakan perselisihan model Kekristenan Protestan Belanda dan model Kekristenan Jawa yang diwakili Kiai Sadrach. Apa yang terbaca sebagai model Kekristenan "Abangan" yang sinkretik dan animistik merupakan kegagalan memahami model pendekatan Kiai Sadrach, yaitu suatu model yang adaptif, inkulturatif dan lebih mendarat dalam kultur Jawa dengan menggunakan terminologi Jawa dan adat istiadat yang dibersihkan dari unsur paganisme dan diberi isi baru dengan nilai-nilai Kekristenan. Model inkulturasi Sadrach setara dengan model yang dikembangkan kelompok "Aba'ah" di era Walisongo yang lebih adaptif dan luwes mendaratkan nilai keislaman dengan kebudayaan.
0 Komentar