Sungai Luk Ulo dikenal sebagai sungai dengan kelokan-kelokan yang membelah wilayah Kebumen menjadi bagian Barat dan Timur. Berbagai aktifitas kerap terlihat di sepanjang aliran sungai Luk Ulo, mulai dari penambangan pasir, pencari bahan batu yang akan diolah menjadi batu akik, sampai aktifitas sehari-hari berupa mencuci baju atau mandi di aliran sungai bagi beberapa kelompok orang.

Sungai Luk Ulo terletak di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang bermuara ke Samudera Hindia. Sungai yang biasa disebut Kali Lukulo ini mengalir dari utara ke selatan dan melintasi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo sepanjang kurang lebih 68,5 Km. Luas keseluruhan DAS Luk Ulo adalah 675,53245 km2. Adapun yang masuk wilayah Kebumen seluas 572,84365 km2. Sisanya masuk Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Sungai Luk Ulo berhulu di Pegunungan Sarayu Selatan dan memiliki hilir di Samudera Hindia dengan nama Muara Tanggulangin  (1)

Sungai Luk Ulo memiliki nilai historis maupun geologis dan ekonomis serta sosial budaya. Oleh karenanya kita akan melihat keberadaan sungai Luk Ulo dari tiga perspektif yaitu baik secara historis, geologis maupun ekonomis serta sosial budaya.

Perspektif Historis Luk Ulo. 

Perbatasan Wilayah Majapahit dan Pajajaran. Menurut tradisi lisan, eksistensi sungai ini telah menjadi pembatas antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran. Wilayah barat masuk wilayah kadipaten Pasir Luhur yang menjadi bagian dari Kerajaan Pajajaran semantara wilayah timur menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit (2). Sayangnya pernyataan bahwa sungai Luk Ulo adalah wilayah batas Majapahit dan Pajajaran sukar mendapatkan Mengenai luas wilayah kekuasaan Majapahit memang masih menjadi perdebatan. Hasan Djafar, seorang ahli arkeologi, epigrafi, dan sejarah kuno mengatakan,”Wilayah Majapahit itu ada di Pulau Jawa. Itu pun hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah” (3). Namun jika membaca uraian dalam Kitab Negarakertagama akan menjadi jelas mengenai luas wilayah Majapahit. Negarakretagama terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dimulai dari pupuh 1 – 49. Sedangkan bagian kedua dimulai dari pupuh 50 – 98. Judul asli dari manuskrip ini adalah Desawarnana yang artinya Sejarah Desa-Desa. Sejak ditemukan kembali oleh para arkeolog, naskah ini kemudian dinamakan Negarakretagama yang artinya Kisah Pembangunan Negara. Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi), penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra , bekas pembesar urusan agama Budha di istana Majapahit. Beliau adalah putera dari seorang pejabat istana di Majapahit dengan pangkat jabatan Dharmadyaksa Kasogatan. Penulis naskah ini menyelesaikan naskah kakawin Negarakretagama diusia senja dalam pertapaan di lereng gunung di sebuah desa bernama Kamalasana. Berikut adalah terjemahan lengkapnya dalam Bahasa Indonesia (4).

Mengenai luas wilayah Majapahit dapat dibaca pada Pupuh XIII-XIV sbb:


Pupuh 13

1. Terperinci pulau Negara bawahan, paling dulu M’layu, Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane.
2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama Negara-negara melayu yang telah tunduk. Negara-negara di Pulau Tanjungnegara; Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut

Pupuh 14

1.   Kandandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solor dan juga Pasir. Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
2. Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan, serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah. Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
3. Disebelah timur Jawa, seperti yang berikut: Bali dengan Negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, Pulau Sapi, dan Dompo. Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
4. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk. Sampai Udamaktraya dan pulau lain-lainnya tunduk
5. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Bangawi Kunir, Galian, serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula, Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.

Mengenai wilayah barat dan timur kekuasaan Majapahit dijelaskan dalam Pupuh XVI khususnya bagian 2 dan 4 sbb:

Pupuh 16

1. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di Nusantara. Dilarang mengabaikan urusan Negara, mengejar untung. Seyogianya, jika mengemban perintah ke mana juga. Menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat
2. Konon, kabarnya, para penderita penganut Sang Sugata. Dalam perjalanan mengemban perintah Baginda Nata. Dilarang menginjak tanah sebelah barat Pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Budha.
3. Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun, Bali boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan, menurut kabaran mahamuni Empu Barada serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh
4. Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja. Dikirim ke timur ke barat; dimana mereka sempat. Melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar
5. Semua Negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari Pulau Jawa. Tapi, yang membangkang, melanggar perintah, dibinasakan pimpinan angkatan laut, yang telah masyhur lagi berjasa

Dalam salah satu blog yang mengulas dan mengomentari soal luas kewilayahan Majapahit disebutkan bahwa Pupuh XVI khususnya bagian 2 dan 4 menganalogikan bahwa Sunda adalah bagian dari Majapahit namun mendapat perlakuan khusus karena penghuninya tidak menganut kepercayaan agama Budha (5) . Bahkan kajian dalam blog tersebut menyangkal eksistensi peristiwa Perang Bubat yang disebutkan dalam Kitab Pararaton dan Kidung Sunda dan menyebutnya sebagai karya yang ditulis ratusan tahun setelah keruntuhan Majapahit dan dan naskah aslinya tidak didapatkan serta diterjemahkan oleh ilmuwan Belanda sehingga diragukan eksistensi historisnya (6).

Medan Pertempuran Pasukan Panjer dan VOC. Panjer adalah nama sebuah wilayah kadipaten sebelum berubah nama menjadi Kebumen. Nama Panjer sudah ada sejak zaman Mataram Islam dan dihubungkan dengan sebuah wilayah pemerintahan di wilayah Kebumen masa kejayaan Sultan Agung. Ada Panjer Rooma dan ada Panjer Gunung. Pada zamannya, Panjer menjadi wilayah penyedia logistik (lumbung padi) pasukan Sultan Agung saat akan menyerang Batavia. Eksistensi wilayah Panjer tidak bisa dilepaskan dari dua dinasti yang pernah berkuasa namun pada akhirnya saling berseteru yaitu Dinasti Arung Binang dan Dinasti Kolopaking. Perseteruan yang terjadi dikarenakan Adipati Arungbinang bekerjasama dengan VOC untuk menumpas Adipati Kolopaking yang mendukung Pangeran Diponegoro. Kedua dinasti yang pernah berkuasa itu sebenarnya dari satu garis keturunan yaitu Prabu Brawijaya V. Yang satu berasal dari garis garwa padmi dan satunya berasal dari garwo ampilan (7) . 

Nama Panjer dan Kutowinangun sudah disebut-sebut di era Mataram Islam (zaman Sultan Agung memerintah, 1613-1645) bahkan paska Perjanjian Giyanti (1755) dan sejak dulu masuk wilayah Mancanegara Kilen bersama dengan Banyumas. Pernah menjadi wilayah Karesidenan Bagelen maupun wilayah Karesidenan Banyumas di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pengaruh kekuasaan administratif tersebut tumpang tindih di Kebumen paska Perjanjian Giyanti. Sebagian wilayah menjadi milik Kasultanan Yogyakarta dan sebagian wilayah menjadi milik Kasunanan Surakarta.

Ketika pecah perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) kelompok elit di wilayah Kebumen (Panjer khususnya) terbelah menjadi dua. K.R.A.T. Kolopaking IV memihak Pangeran Diponegoro sementara Adipati Aroeng Binang IV memihak VOC dan Surakarta serta Yogyakarta. Perselisihan dan pertempuran tidak terelakkan bahkan hingga berakhirnya Perang Jawa dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Dikisahkan Adipati Aroeng Binang IV beserta laskar kasunanan dan kasultanan serta pasukan VOC menggempur benteng pertahanan yang ada di wilayah Kutowinangun. Sekitar Fenruari 1831 seluruh kekuatan pasukan VOC di bawah pimpinan Mayor Biscus dibantu laskar-laskar Surakarta dan Yogyakarta serta Arung Binang IV berhasil menguasai Panjer Rooma. Terjadi perang tanding yang cukup sengit antara K.R.A.T. Kolopaking IV dan Adipati Aroeng Binang IV dan wilayah perkelahian tersebut di namai Kupu Tarung (sekarang berdiri Tugu Lawet). Saat Adipati Aroeng Binang IV terdesak pasukan VOC berbuat kecurangan dengan menembak dari belakang tubuh K.R.A.T. Kolopaking IV sehingga tersungkur (8). Setelah K.R.A.T. Kolopaking IV wafat dan pemerintahan berpindah tangan kepada Adipati Aroeng Binang IV (Mangundiwiryo), Tahun 1833 Adipati Aroeng Binang IV ditetapkan sebagai Bupati di Panjer Rooma dan pusat pemerintahan dipindahkan ke utara dan dibangun sebuah rumah Kadipaten (sekarang dipakai sebagai kantor Bupati) dan mulai saat itu dinamai Kebumen yang berasal dari nama leluhurnya, yaitu Pangeran Bumidirjo atau Ki Bumi sementara wilayah pemerintahan lama hanya tinggal bernama Panjer tanpa menggunakan Rooma (9). Tahun 1861 Arung Binang IV digantikan oleh iparnya (karena tidak memiliki anak) yaitu Tirtorejo (Patih Karanganyar) sehingga menjadi Arung Binang V (10) .

Dalam konteks peperangan sisa-sisa pengikut Pangeran Diponegoro di wilayah Panjer yang dipimpin K.R.A.T. Kolopaking IV, wilayah Karangsambung dan desa-desa di tepian atau yang dilintasi sungai Luk Ulo adalah medan pertempuran sengit di antara kedua belah pihak yang bertikai seperti Banioro, Celapar, Kali Gending, Selorondo, Gagak Baning, Kebagoran, Jemur dll. Pasukan VOC dipimpin oleh Mayor Van Rojen, Mayor Biskus, Mayor Magelis dengan dibantu pasukan Arungbinang IV serta pasukan Banyumas berhadapan dengan pasukan Panjer pimpinan K.R.A.T. Kolopaking IV beserta pengikutnya seperti Senopati Pujo Gomowijoyo, Senopati R. Jomenggolo, Kyai Endang Kertowongso, dll (11).

Perspektif Geologis Luk Ulo. 

Ir Chusni Ansori, peneliti geologi pada Balai Informasi dan Konservasi Kebumian (LIPI) Karangsambung Kebumen pernah menuliskan di koran Suara Merdeka sbb: “Dalam ilmu kebumian, Sungai Luk Ulo termasuk sungai antecedent, yaitu jenis sungai yang memotong struktur geologi utama daerah tersebut, dan termasuk stadium dewasa. Tingkat kedewasaan sungai ini terlihat dari pola meander serta endapan undak sungai yang terbentuk pada posisi jauh dari sungai utama. Tingkat kedewasaan sungai ini nampaknya sejalan dengan semakin banyaknya permasalahan lingkungan yang ada” (12). Dalam wawancara yang saya lakukan saya berusaha mendapatkan beberapa penjelasan mengenai sejumlah istilah-istilah teknis dalam geologis terkait keberadaan sungai Luk Ulo. Dari hasil wawancara beliau mengatakan bahwa struktur yang ditabrak oleh aliran sungai Luk Ulo saja sudah berusia sekitar 15 juta tahun yang dalam skala waktu geologi disebut Miosen pada periode Neogen (13). Menurut Wikipedia, Miosen adalah suatu kala pada skala waktu geologi yang berlangsung antara 23,03 hingga 5,332 juta tahun yang lalu. Seperti halnya periode geologi yang lebih tua lainnya, lapisan batuan yang membedakan awal dan akhir kala ini dapat teridentifikasi, tapi waktu tepat awal dan akhirnya tidak dapat terlalu dipastikan. Miosen dinamai oleh Sir Charles Lyell dan berasal dari kata bahasa Yunani μείων (meioon, "kurang") dan καινός (kainos, "baru") dan kurang lebih merujuk pada "kurang baru" karena hanya memiliki 18% (kurang dari Pliosen) invertebrata laut modern. Miosen mengikuti Oligosen dan diikuti oleh Pliosen dan merupakan kala pertama pada periode Neogen (14).



Foto Udara Sungai Luk Ulo 
http://aguspriatmojoblp.blogspot.com/2011/03/sungai-kali-luk-ulo-kebumen.html

Menurut Ir Chusni Ansori, keberadaan sungai yang menabrak struktur ini tentu saja usianya lebih tua dari struktur itu sendiri, sehingga disebut sungai yang dewasa. Arti dewasa di sini dimaksudkan sudah memiliki meander atau kelokan yang kokoh dan berbeda dengan sungai yang masih berusia mudia dengan kelokan yang hanya membentuk huruf “V”. Menariknya, sepanjang aliran sungai Luk Ulo membentuk formasi dan kandungan batuan yang berbeda, sehingga di wilayah-wilayah ke arah selatan yang mengandung lempung sangat baik dipergunakan sebagai bahan genting seperti di Sooka (15) . Sekalipun demikian Arief Mustofa Nur dari Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI mengatakan pendapat yang berbeda: “Sungai Luk Ulo yang berkelok-kelok dan melintasi Kawasan Karangsambung belum dapat dikatakan sebagai sungai meander sepenuhnya karena hanya 4 segmen dari 7 segmen pengukuran dan pengamatan yang memenuhi kreteria meander”  (16)

Berikut gambar yang saya dapatkan dari hasil wawancara dengan Ir Chusni Ansori terkait aliran sungai yang menabrak struktur.



Perspektif Ekonomis

Sepanjang aliran sungai Luk Ulo penuh dengan aktifitas yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomi al., penambangan pasir dan perburuan batuan untuk bahan akik. Sejumlah batu akik yang diperoleh di sekitar DAS Luk Ulo adalah: Batu Ginggang, Cubung Wulung, Carnelian, Chalsedony, Badar Besi, Naga Sui (17). 

Terkait batu akik dari wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) Luk Ulo khususnya di wilayah Karangsambung, Ir. Chusni Ansori menjelaskan bahwa kualitas batu akik tergantung pada tiga hal yaitu: Warna, Transparansi dan Kekerasan. Batuan/mineral Karangsambung umumnya keras sehingga jika dipoles akan mengkilap, namun umumnya tidak transparan/tembus pandang serta warnanya tidak menarik sehingga kualitas akiknya menjadi kurang baik. Namun demikian, Akik Luk Ulo (sebutan utk akik Karangsambung) disenangi oleh kalangan tertentu (supra naturalis) karena dapat diisi (dikuatkan energinya). Berbeda dengn penilaian peneliti LIPI, sejumlah praktisi atau pengrajin batuan Karangsambung melihat potensi yang besar dibalik penemuan batuan yang akhirnya dipergunakan sebagai akik Luk Ulo sebagaimana dijelaskan dalam salah satu situs batu mulia sbb: “Batuan Karangsambung dan batuan sungai Luk ula memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh batuan lain di belahan bumi mana pun. Banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui ciri khas dan karakteristik batuan Luk Ula dan Karangsambung akhirnya terpaksa tertipu dengan batu – batu yang berasal dari luar Kebumen atau bahkan dari Kebumen sendiri tetapi bukan dari alur Luk Ula dan Karangsambung yang diatasnamakan batuan Luk Ula dan Karangsambung”  (18).

Selain aktifitas perburuan bahan batu akik, DAS Luk Ulo pun kerap menjadi pusat penambangan pasir. Nilai ekonomi penambangan pasir ini cukup signifikan sekalipun pajak yang masuk ke Pemda Kebumen tidak signifikan. Tahun 2005 lalu, Ir. Chusni Ansori menuliskan survey peredaran uang dari hasil penambangan pasir Luk Ulo tidak kurang dari Rp 13,6 juta pada siang hari atau sekitar Rp 4,896 milyar/tahun yang jatuh ke tangan penambang/pengayak, buruh angkut, keamanan, dan jalan desa sekalipun pajak daerah gol C dari pasir Luk Ulo yang masuk ke kas daerah hanya Rp 12 juta / tahun (19). Dalam sebuah ulasan artikel tahun 2012, pendapatan daerah dari retribusi galian golongan C tahun 2011 mengalami peningkatan mencapai Rp 1,2 miliar sekalipun harus diperhadapkan dengan tingkat kerusakan Luk Ulo, yang jika dinormalisasi bisa menguras APBD bisa mencapai biaya sebesar Rp 1,1 triliun (20).

Namun demikian, aktifitas penambangan pasir ini kerap bermasalah karena kurang memperhatikan konservasi lingkungan seperti nampak dari maraknya penggunaan mesin-mesin penyedot pasir yang membahayakan lingkungan sebagaimana dikeluhkan para pemerhati lingkungan. Hal ini nampak dari kapasitas pasir yang dapat diambil. Jika sepuluh tahun lalu volume pasir dapat diangkut 8-10 truk per hari, maka sekarang untuk 4-6 truk perhari sangat sulit (21). Selain pengurangan volume pasir yang cukup signifikan, penambangan pasir dengan mesin sedot dikuatirkan dapat menggerus sejumlah batuan purba i lokasi Cagar Alam Geologi Karangsambung (22).

Perspektif Sosial Budaya

Karena Kebumen di masa Mataram Islam pernah mejadi wilayah-wilayah administratif dari Bagelen yang mewakili kebudayaan Negaragung dan Banyumas yang mewakili kebudayaan Mancanegara Kilen, maka terciptalah sub kultur perpaduan kebudayaan mapan sebelumnya yaitu Banyumas dan Bagelen sehingga menghasilkan keunikkan dalam logat berbahasa antara timur sungai Luk Ulo dan barat sungai Luk Ulo. Selengkapnya Mustolih dalam artikelnya, Masyarakat Kebumen Masih Cari Jati Dirinya mendeskripsikan sbb: “Dari logat bahasanya, Kebumen terbagi dua. Sebelah timur aliran sungai Luk Ulo berbahasa dengan didominasi vokal ''o'', dan mbandek (poko'e). Sementara di sebelah barat aliran sungai Luk Ulo didominasi vokal ''a'' dan ''k'' medok, (pokoke). Sedangkan, di antara aliran sungai Luk Ulo dan aliran Sungai Kedungbener bahasanya campur bawur, ada yang memakai poko'e, ada yang memakai pokoke. Sedangkan sebelah utara Gunung Krakal masyarakat lebih fasih berbicara dengan logat Wonosoboan dengan memanjangkan fonem akhir. Kebiasaan dan adat istiadat di Kebumen juga beragam, penduduk yang tinggal di sebelah barat sungai Luk Ulo lebih suka nanggap calung, dan eblek, sedangkan penduduk yang tinggal di sebelah timur sungai Luk Ulo lebih suka nanggap wayang kulit atau ndolalak untuk acara resepsi. Orang Kebumen yang tinggal di sebelah timur aliran sungai Luk Ulo disebut wong wetan kali, di antaranya Kecamatan Kutowinangun, Ambal, dan Mirit. Mereka lebih terkesan mriyayi sedang di Kecamatan Padureso, Poncowarno dan Alian lebih kental dengan logat Wonosoboan. Sebaliknya, orang Kebumen yang tinggal di sebelah barat aliran Sungai Luk Ulo disebut wong kulon kali, di antaranya Kecamatan Pejagoan, Klirong, Sruweng, Petanahan, Kuwarasan, Gombong, yang lebih terkesan merakyat, meskipun tidak seluruhnya” (23)

Sungguh menarik melihat fenomena sosial budaya berupa pertemuan dan percampuran kebudayaan Bagelenan dan kebudayaan Banyumasan yang bermuara di Kebumen. Kenyataan ini menjadikan Kebumen sebagai wilayah “jepitan dua arus kebudayaan mapan” (24) yaitu Bagelen yang mriyayi dan Banyumas yang merakyat. Tidak mengherankan ketika masyarakat Kebumen merasa bahwa identitas kebudayaannya menjadi tidak begitu tegas dan jelas, itu semua dikarenakan Kebumen merupakan wilayah pertemuan arus kebudayaan dan menjadi wilayah jepitan dua kebudayaan yang saling bertolakbelakang. Ketidakjelasan identitas kebudayaan ini kerap muncul dalam ungkapan kalimat yang mengindikasikan pencarian jati diri baik kebudayaan, kesenian, kebahasaan, pakaian adat dll.

Jika dilihat dari indikator logat kebahasaan dan lageyan (sifat seseorang atau komunitas), memang masyarakat Kebumen merupakan bagian dari arus kebudayaan Banyumas yang kental dengan bahasa Ngapak-ngapak dan budaya Cablakanya. Namun itu hanya berlaku di wilayah yang sudah merapat dengan wilayah Banyumas dari arah Kulon Kali (sekalipun pemilahan ini tidak berlaku tegas di era modern ini). Sementara di wilayah lain khususnya Wetan Kali, indikator kebahasaan dan lageyan (sifat seseorang atau komunitas) menujukkan ciri kebudayaan Bagelen yang dekat dengan Kraton yang mriyayi. Keterbelahan karakteristik inilah yang nampaknya menyebabkan masyarakat Kebumen tidak teridentifikasi keaslian budayanya dan cenderung abu-abu dan kompromistik dalam perilaku sosialnya. Di Kebumen hampir jarang ditemui pemikiran-pemikiran dan perilaku ekstrim yang dapat direspon positip oleh masyarakat secara keseluruhan. Perbedaan pendapat sebagai hasil berfikir kritis kerap diharmonisasikan sehingga jangan sampai terjadi konflik berkepanjangan baik konflik horisontal maupun konflik vertikal. Hasilnya yang nampak di permukaan adalah bentuk perilaku yang stagnan dan tidak dinamis serta lambat merespon perubahan.

Kesimpulan

Dari keseluruhan kajian mengenai keberadaan sungai Luk Ulo dari berbagai perspektif (historis, geologis, ekonomis, sosial budaya) sudah seharusnya para pemangku kepentingan khususnya birokrasi pemerintahan daerah Kebumen maupun seluruh elemen masyarakat baik komunitas-komunitas pemerhati lingkungan, komunitas ilmiah dan akademik serta komunitas kebudayaan dapat bersinergi menjadikan kawasan sungai Luk Ulo sebagai kawasan yang dijaga keberlangsungannya dan menjaga dari kerusakkan ekologis serta mengembangkannya menjadi kawasan-kawasan strategis baik bagi kepentingan ekonomi warga, kepentingan penelitian ilmiah, kepentingan situs bersejarah serta kajian sosial budaya.






Teguh Hindarto
Peminat Kajian Sosial dan Budaya



---------
(1) Sungai Luk Ulo
https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Luk_Ulo
 

(2) Sungai “Kali” Luk Ulo Kebumen
http://aguspriatmojoblp.blogspot.com/2011/03/sungai-kali-luk-ulo-kebumen.html
 

(3) Faktanya, Nusantara Bukanlah Wilayah Majapahit
http://sains.kompas.com/read/2013/10/13/2012358/Faktanya.Nusantara.Bukanlah.Wilayah.Majapahit
 

(4) Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Kitab Negarakertagama
https://historynote.wordpress.com/2011/04/28/negarakertagama/  


(5) Wilayah Kekuasaan Majapahit (Sebuah Pemaparan)
http://majapahit1478.blogspot.com/2013/12/wilayah-kekuasaan-kerajaan-majapahit.html
 

(6) Perang Bubat: Sebuah Pembohongan Sejarah
http://majapahit1478.blogspot.com/2013/12/perang-bubat-sebuah-pembohongan-sejarah_12.html
 

(7) P. Tirto Wenang Kolopaking, Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Ki Ageng Mangir - Kolopaking – Arungbinang, Jakarta: Yayasan Trah Kolopaking, 2006, hal 204-205, 216-217

(8) Ibid, hal 283

(9) Ibid., hal 213
 

(10) Ibid., hal 307-308
 

(11) Ibid., hal 287-308
(12) Ir Chusni Ansori, Sungai Luk Ulo Jadi Ladang Perburuan Batu
http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/30/ked01.htm
 

(13) Wawancara pribadi di LIPI Karangsambung, Tanggal 16 Juni 2015
 

(14) Miosen
https://id.wikipedia.org/wiki/Miosen


(15) Op.Cit., Wawancara pribadi
 

(16) Arief Mustofa Nur, Sungai Meander Luk Ulo: Antara Kondisi Ideal dan Kenyataan, Jurnal Geografi, Volume 6 No. 2 Juli 2009
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/view/95/96
 

(17) 5 Jenis Batu Luk Ulo Kebumen yang Paling Digemari
http://banyumasnews.com/85440/5-jenis-batu-akik-lukulo-kebumen-yang-paling-digemari/
 

(18) Nilai dan Kandungan Batuan Karangsambung dan Problem Keekonomian Pengrajin Batuan
http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2013/12/nilai-dan-kandungan-batuan_5.html
 

(19) Op.Cit., Sungai Luk Ulo Jadi Ladang Perburuan Batu  

(20) Kalkulasi Pasir Luk Ulo
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/02/23/178091/Kalkulasi-Pasir-Luk-Ulo
 

(21) Penambang Kesulitan Ambil Pasir Luk Ulo
https://lintaskebumen.wordpress.com/tag/sungai-luk-ulo/
 

(22) Batuan Purba Karangsambung Terancam Penambangan Pasir Luk Ulo
http://arisandria.blogspot.com/2012/10/batuan-purba-karangsambung-terancam.html
 

(23) Mustolih Brs, Masyarakat Kebumen Masih Cari Jati Dirinya
http://www.suaramerdeka.com/harian/0605/03/ked10.htm
 

(24) Ibid.,