Kontroversi seputar pengisian kolom agama sudah bergeser, yang semula diperbolehkan mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP), jika menganut kepercayaan selain Islam, Kristen, Hindu, Budha maka di tahun 2014 sempat mengemuka wacana untuk membuang kolom agama sama sekali. Nampaknya wacana tersebut masih akan menuai reaksi di masyarakat antara mereka yang pro dan kontra.
Namun secara historis, pencantuman kolom agama tidak memiliki pijakkan sama sekali karena sejak zaman pra kemerdekaan dan paska kemerdekaan, kolom agama tidak pernah disertakan dalam Kartu Tanda Penduduk. Bahkan dalam Kartu Tanda Penduduk dari periode Tahun 1960-an di Gombong pun tidak ada pencantuman kolom agama sebagaimana KTP an Winoto penduduk Semanding berikut ini:
Lantas sejak kapan kemunculan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk muncul? Secara historis, kemunculan kolom agama adalah bagian dari bentuk "politik agama" yang digulirkan rezim Orde Baru untuk mengantisipasi dan mencegah berkembangnya paham komunisme paska penumpasan politik yang dilakukan pada tahun 1965. Todung Mulya Lubis mengatakan terkait fakta sejarah ini, "Pada 1965, melalui UU No I/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, disebutkan dalam penjelasannya bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Tak salah apabila orang menafsirkan adanya pengakuan negara terhadap agama tertentu ini dipicu juga oleh ketakutan atas bahaya komunisme yang dianggap tidak beragama" (Kolom Agama Dalam Perspektif HAM, Kompas, 27 November 2014).
Menurut catatan Ricklef, sejak tahun 1960-an dan masa-masa selanjutnya agama-agama formal mengalami peningkatan jemaat secara signifikan khususnya Kristen, Hindu dan Budha dikarenakan exodusnya orang-orang yang ditengarai sebagai komunis (yang kerap dilabelisasi sebagai tidak beragama, padahal dugaan ini tidak sepenuhnya benar) harus memeluk agama-agama yang ada (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1998:435). B.J. Boland mencatat bahwa paska berbagai tindakan kekerasan terhadap organisasi dan orang-orang komunis oleh tentara dan ormas-ormas Islam pada zaman itu, memunculkan situasi ketidakpastian dan kekalutan jiwa sehingga menyebabkan banyak orang-orang Komunis memasuki salah satu agama-agama yang ada dan diakui negara kala itu, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha (The Strugle of Islam in Modern Indonesian, 1971, p.232). Beriringan dengan peristiwa-peristiwa di atas, rezim Orde Baru memainkan politik agama melalui Ketetapan MPRS No XXVII/1966 dimana setiap penduduk atau warga negara Indonesia harus memeluk salah satu agama-agama yang resmi dan diakui pemerintah (Singgih Nugroho, Menyebrang dan Menyintas: Perpindahan Massal Kegamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, 2008:4).
Kondisi-kondisi sosial politik itulah yang melatarbelakangi kemunculan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk sebagai penanda dan identitas yang membedakan antara orang komunis dan non komunis. Dalam perkembangannya di era Reformasi ini, keberadaan kolom agama di beberapa tempat masih kerap menimbulkan permasalahan al., diskriminasi-diskriminasi yang dialami kelompok agama minoritas.
Jika pencantuman kolom agama kerap menimbulkan sejumlah masalah di beberapa tempat (tidak seluruhnya), bukan sebuah kesalahan jika kolom agama tidak dicantumkan. Sejarah telah menyediakan data darimana pencantuman kolom agama dengan dilatarbelakangi situasi politik. Namun sejarah pun menyediakan data bahwa pra kemerdekaan ataupun paska kemerdekaan, Kartu Tanda Penduduk tidak pernah mencantumkan kolom agama. Entahkah mana nanti yang akan dipilih (penghilangan kolom agama atau pengosongan kolom agama bagi mereka yang tidak beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu), kedua pilihan tersebut memiliki pijakan historis atas dasar kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
0 Komentar