Para perajin krupuk kulit sapi Kebumen secara tegas menolak menggunakan bahan baku berformalin. Selain menyadari dampak negatif bagi kesehatan, mereka takut kepercayaan konsumen hilang mengingat penampilan fisik krupuk yang terlihat pucat dan tak menarik.

"Kami pernah didatangi oleh pedagang kulit sapi dari Tasikmalaya yang membawa bahan baku berupa kulit sapi berformalin. Namun kami tegas menolak penawaran itu," ungkap Marsudi (60), perajin krupuk kulit Desa Kewayuhan Kecamatan Pejagoan Kebumen, di rumahnya, Jum'at (19/10/12).

Saat menawarkan barang, pedagang itu beralasan bahwa dengan membeli bahan baku yang berformalin, para perajin bisa menumpuk stok kulit mentah cukup banyak tanpa takut cepat kadaluwarsa. Dengan demikian, pada saat ada pesanan krupuk dalam jumlah banyak perajin tak lagi kesulitan bahan baku.

"Karena kami sudah secara tegas menolak, pedagang kulit itupun tak berani menawari lagi," jelas Marsudi.

Adapun menurut Siti Fatimah, pedagang kulit sapi asal Desa Selang Kecamatan/Kabupaten Kebumen, Desa Kewayuhan sejak puluhan tahun silam adalah sentra krupuk kulit kerbau maupun sapi. Krupuk kulit Kewayuhan itu dipasarkan ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan DIY. Karena itulah, dibutuhkan bahan baku dalam jumlah yang banyak.

"Sayangnya, kulit sapi asal Kebumen belum bisa mencukupi kebutuhan bahan baku, karena sebagian digunakan sebagai bahan baku industri tas, sepatu dan jaket. Tak heran, banyak pedagang kulit asal Tasikmalaya dan Kalimantan yang memasok bahan baku kepada para perajin," jelas Siti.

Adapun kriteria kulit untuk bahan baku krupuk adalah tebal dan berasal dari sapi jantan muda. Sedangkan kulit sapi Kebumen banyak yang tipis dan berasal dari sapi betina.

Sumber: beritakebumen.info