Sebuah Catatan dan Ulasan General Lecture (Mirjam Lucking)

Di Pondok Pesantren Al Kahfi, Somalangu, Kebumen


Ada yang menarik pagi itu (27 Juli 2018) saat untuk pertama kali memasuki kawasan kompleks Pondok Pesantren Al Kahfi, Somalangu, Kebumen. Tentu selain nama besar pesantren yang berkaitan dengan sejarah keberadaannya yang sangat tua (mesjidnya konon telah berdiri sebelum mesjid Demak) dan peristiwa-peristiwa ketengangan di tahun 1950-an di masa pembentukkan nationIndonesia, ini adalah langkah pertama memasuki areal kompleks pesantren yang luas tersebut. Bukan untuk menjadi pembicara melainkan menghadiri sebuah general lecture (kuliah umum) dengan menghadirkan Mirjam Lucking dari Hebrew University, Jerusalem.



Sayang yang hadir memang tidak dari kalangan akademisi dan mahasiswa melainkan guru-guru yang berafiliasi dengan Pondok Pesantren Al Kahfi. Mungkin karena kegiatan ini sekedar memanfaatkan waktu yang ada seusai Mirjam Lucking menyampaikan general lecture di Yogyakarta (UGM dan UIN).

Terlepas dari itu semua, tema yang disajikan cukup menarik yaitu Untold Story and Rethinking: Israel and Palestine (Kisah yang Tidak Terceritakan dan Pemikiran Ulang Perihal Hubungan Israel dan Palestina). Sebuah tema dan pembahasan yang memang tidak membicarakan secara spesifik perihal keberpihakkan dari perspektif politik, baik terhadap eksistensi Israel maupun Palestina.

Pemaparan yang disajikan oleh Mirjam Lucking lebih ke pendekatan antropologi untuk melihat narasi-narasi kecil yang terabaikkan diantara relasi dan interaksi orang-orang Israel dan Palestina yang tidak selalu bercorak konflik dan saling menegasikan namun tidak terliput media padahal narasi-narasi kecil tersebut sangat memungkinkan sebagai bentuk-bentuk yang berpotensi untuk membangun kesepahaman dan kesalingmengertian diantara kedua belah pihak dan mengajak bangsa-bangsa yang terlibat secara emosional dalam bias keberpihakkan (baik terhadap Israel dan Palestina) agar melihat persoalan Israel Palestina.

Dengan pemaparan yang renyah dan lincah sebagai seorang intelektual yang sekaligus aktivis sosial, Mirjam memulai ulasannya dengan mengutip Antropolog Arjun Appadurai perihal konsep probability ethic dan posibility ethic. Sayangnya, bahasa Indonesia tidak memadai untuk menerjemahkan kedua kata tersebut dan hanya menerjemahkannya dengan “kemungkinan”. Kata posibilitybermakna kemungkinan namun tidak dapat diketahui kepastiannya sementara kata probability sekalipun bermakna kemungkinan namun lebih memungkinan terjadi

Dengan istilah probability ethic dan posibility ethic,Arjun Appadurai menjelaskan bahwa masyarakat kita berjuang dengan serbuah ketegangan antara “etika kemungkinan” (yang berisikan harapan, aspirasi, keinginan) dan “etika probabilitas” (yang berisikkan rasionalitas sistematis, manajemen risiko serta manfaanya) namun “etika probabilitas” mengesampingna sejumlah kemungkinan-kemungkinan. Dalam bukunya yang terbaru, Appadurai menyerukan komitmen yang diperbaryi untuk “etika kemungkinan” (posibility ethic) dengan didasarkan pada pandangan bahwa politik yang benar-benar demokratis tidak dapat didasarkan pada longsoran anka-angka  belaka – baik tentang populasi, kemiskinan, keuntungan – yang mengancam untuk membunuh semua optimisme tingkat jalanan tentang kehidupan dan dunia. Sebaliknya, harus membangun “etika kemungkinan” (posibility ethic) yang dapat menawarkan platform yang lebih inklusif untuk meningkatkan kualiutas hidup planet dan dapat mengakomodasi sejumlah visi kehidupan yang lebih baik” (The Future as Cultural Fact: Essays on the Global Condition,2013:299-300).


Berangkat dari konsep “etika kemungkinan” (posibility ethic), Mirjam Lucking mulai mengisahkan peristiwa-peristiwa yang dialami dari dekat perihal interaksi sosial dan relasi masyarakat Israel dan Palestina yang tidak sehitam putih berkonflik sebagaimana dilaporkan banyak media melainkan lebih cair dan humanistik yang tidak banyak terpotret media massa.

Beberapa contoh Mirjam sampaikan al., perihal seorang gadis muda Palestina yang bersamanya saat naik bis di Yerusalem mengalami diskriminasi oleh tentara IDF Israel sehingga harus diperiksa. Namun gadis tersebut tidak menyalahkan siapa-siapa bahkan membagi kisahnya dengan Mirjam perihal keinginannya bersekolah di Hebrew University dan mempelajari bahasa Ibrani, bahasa yang notabene secara politik menjadi bahasa musuh bagi Palestina. Namun gadis Palestina ini tidak berkeinginan mengekspresikan kemarahan apalagi pembalasan.

Mirjam juga memotret realitas perihal penjaga makam Yesus (yang kosong) dimana penjaga kuncinya adalah seorang keluarga Muslim. Demikian juga perihal keterlibatan sejumlah masyarakat Israel yang anti perang dan mengecam kebijakan politik yang mendiskriminasi orang Palestina. Tidak lupa Mirjam mengisahkan komposisi orang Kristen di Palestina (walau hanya 6%) yang juga melakukan perlawanan terhadap Israel, karena ternyata di Palestina tidak semua masyarakatnya muslim.

Sayang Mirjam tidak menyisipkan kisah bahwa di tentara IDF Israel pun banyak tentara yang berasal dari Palestina dan parlemen Israelpun ada parta-partai yang mewakili orang-orang Arab.

Masih ada sejumlah kisah-kisah menarik yang dibagikan Mirjam untuk memperkenalkan kepada publik di Indonesia perihal narasi-narasi kecil yang sekalipun kemungkinannya kecil namun berkontribusi bagi perdamaian dan kemanusiaan dan menghindarkan diri dari penilaian serba bias baik yang bersifat Yahudiphobia dan Antisemitisme (ketakutan terhadap Yahui melalui kebohongan teori konspirasi) maupun Islamophobia (ketakutan terhadap segala sesuatu yang berbau Arab dan Islam).


Sebagai peminat kajian Jewish Studies, saya sangat mengapresiasi kegiatan yang diselenggarakan Pondok Pesantren Al Kahfi. Mungkin ke depannya bisa dikembangkan dengan spektrum pembahasan yang lebih luas dan melibatkan sejumlah akademisi dan mahasiswa serta masyarakat untuk mendengar kisah-kisah yang tidak terceritakan perihal relasi Israel dan Palestina yang tidak tertangkap media ataupun sampai ke telinga masyarakat Indonesia, sehingga kita tidak harus terjebak dalam menyikapi konflik antara Israel dan Palestina secara hitam putih dengan bias-bias keberpihakkan yang emosional yang mengabaikkan realita dan rasionalitas.

Saya mengusulkan bukan hanya berhenti pada pengisahan narasi-narasi kecil di Israel dan Palestina yang berkontribusi untuk saling kesepahaman dan menghargai satu sama lain demi membangun masyarakat yang damai namun perlu dilanjutkan dengan kajian-kajian Jewish Studieskhususnya di beberapa pesantren. Jewish Studies bermaksud untuk mengenal lebih dekat bangsa, budaya, bahasa, agama karena tidak banyak diketahui masyarakat kita bahwa bahasa Ibrani yang diucapkan orang Israel serumpun dengan bahasa Arab dan dituliskan dari kanan ke kiri. Bahkan ibadah merekapun berjumlah tiga kali sehari (tefilah sakharit, minkhah dan maariv dengan menghadap kiblat (khususnya bagi Yahudi yang berada di luar Yerusalem).

Tidak banyak diketahui masyarakat Kebumen bahwa di Gombong era kolonial pernah bermukim beberapa orang Yahudi. Romi Zarman pernah menulis dalam bukunya sbb: “Dari suatu peraturan pencatatan sipil untuk orang Yahudi di Hindia Belanda, Het reglement op den burgerlijken stand, voor alle Christenen en Joden, bertanggal 18 Juni 1828, teridentifikasi bahwa orang Yahudi di Jawa terutama tersebar di Batavia, Semarang dan Surabaya…Yahudi Eropa di Jawa tidak tersebar di Batavia, Semarang dan Surabaya, melainkan juga di Bandung, Cilacap, Bogor, Sukabumi, Cimahi, Gombong, Surakarta, Yogyakarta, Walikukun, Malang, Ngawi, Ambarawa, Magelang, Madiun, Purworejo, Purwokerto, Probolonggo dan Pasuruan” (Yudaisme di Jawa Abad 19 dan 20, (tt, hal 1-2).

Menariknya, di dalam tabel yang disusun oleh Sdr. Romi Zarman tertulis komposisi orang Yahudi di beberapa wilayah dari tahun yang berbeda sbb: Batavia (20 keluarga Yahudi Eropa, tahun 1861), Batavia (40 jiwa, tahun 1862), Surabaya (3 keluarga Yahudi Persia, tahun 1871), Gombong (5 jiwa, tahun 1901), Semarang (20 jiwa, tahun 1903). Saat saya menghubungi Sdr Romi Zarman dan meminta data perihal orang-orang Yahudi yang pernah tinggal di Gombong, sayangnya dia belum bersedia berbagi data dengan saya sehingga saya sulit mendapatkan keterangan yang cukup mengenai eksistensi orang Yahudi di wilayah Kebumen.

Kiranya ulasan ini menjadi titik awal untuk saling mengenal bangsa dan budaya lain khususnya Israel (Yahudi) tanpa bias-bias interpretasi teologis dan politis belaka melainkan membangun pemahaman melalui pendekatan sosiologis dan antropologis. Kajian Jewish Studies kiranya dapat menjadi salah satu upaya membangun pemahaman perihal bangsa, budaya, bahasa orang lain khususnya Israel (Yahudi)