Catatan dan Ulasan Buku, “ Kajian Analisis Sosial
Dengan Pendekatan Konsep Teori Tokoh Sosiologi Indonesia”
Disampaikan dalam Acara Bedah Buku dan Diskusi Tematik: Sosiologi Indonesia
oleh Ikatan Alumni Universitas Terbuka (IKA-UT) Kebumen,
10 Maret 2018 di SMP 7 Kebumen
Dalam kehidupan sosial kita bukan hanya menemui ketertiban sosial namun juga akan menemui sejumlah fenomena sosial, gerak perubahan sosial serta berbagai persoalan sosial. Baik ketertiban sosial, fenomena sosial, perubahan sosial, maupun persoalan-persoalan sosial menjadi obyek pengkajian salah satu ilmu sosial yaitu Sosiologi.
Bagi masyarakat umum, ketertiban sosial, fenomena sosial, perubahan sosial, maupun persoalan-persoalan sosial adalah peristiwa yang alamiah dan bisa terjadi berulang kali dalam kehidupan sosial sehari-hari. Namun bagi ilmu Sosiologi dan ilmuwan Sosiologi ketiga kenyataan sosial tersebut bukan sesuatu yang begitu saja terjadi secara alamiah. Ada sejumlah faktor penunjang yang menghasilkan ketertiban sosial. Ada kekuatan-kekuatan eksternal dan internal yang berkontribusi bagi perubahan-perubahan sosial. Ada akar penyebab baik langsung atau tidak langsung yang berkontribusi bagi terjadinya persoalan-persoalan sosial.
Diperlukan penguasaan sejumlah teori dan metodologi untuk memahami kenyataan sosial di sekitar kita (ketertiban sosial, fenomena sosial, perubahan sosial, persoalan sosial) agar seorang peneliti sosial memiliki pemahaman yang utuh dan dapat memberikan solusi untuk mencegah atau menanggulangi saat terjadi problem-problem sosial.
Bukan hanya kemampuan untuk menguasai sejumlah teori dan metodologi melainkan kemampuan untuk menganalisis kenyataan sosial dengan perangkat keilmuan yang telah dipelajari.
Lahirnya sejumlah teori-teori untuk memahami kenyataan sosial inilah yang kerap direduksi oleh masyarakat tertentu sebagai bentuk pengetahuan yang harus dihafalkan sehingga muncullah pemahaan bias bahwa ilmu-ilmu sosial sekedar ilmu hafalan karena mengharuskannya menghafalkan teori dan pendapat sejumlah ahli terkait kenyataan sosial. Kondisi ini diperparah dengan sistem pendidikkan yang memposisikan ilmu-ilmu sosial sebagai bentuk hafalan terhadap teori tertentu atau peristiwa historis tertentu.
Lebih dari sekedar hafalan, ilmu sosial mensyaratkan kompetensi seseorang dalam melakukan analisis sosial, sebagaimana pernah saya tuliskan dalam sebuah artikel, “Padahal ilmu sosial membutuhkan kemampuan melakukan analisis sosial dengan berbekal sejumlah teori dan perspektif yang sudah ditemukkan terlebih dahulu. Teori dan perspektif para ahli memang harus dihafalkan namun yang terlebih penting adalah kemampuan melakukan analisis sosial, analisis sejarah, analisis politik, analisis bahasa, analisis perilaku dst. Kemampuan membaca persoalan-persoalan sosial dengan melakukan analisis sosial inilah yang kurang ditekankkan di ruang-ruang kelas ilmu sosial”[1]
Ulasan Buku
Berkaitan dengan teori, metodologi dan analisis sosial untuk memahami kenyataan sosial maka buku dengan judul, Kajian Analisis Sosial Dengan Pendekatan Konsep Teori Tokoh Sosiologi Indonesia[2] yang ditulis oleh Braindilog Sociology menjadi salah satu upaya untuk mendekatkan pada para pembacanya untuk melihat dan menganalisis kenyataan sosial melalui perspektif Sosiologi.
Sebagaimana dituliskan dalam kata pengantar penulisan buku ini, adapun yang menjadi maksud dan tujuan publikasi buku ini adalah, “...berisi gagasan yang beragam mengenai permasalahan sosial maupun politik yang terjadi di Indonesia, yang dipaparkan oleh beberapa penulis yang terlibat dalam penulisan buku ini” (hal vi). Kompilasi analisis sosial yang dibukukan ini sebenarnya hasil dari sebuah Sayembara Menulis Artikel Sosiologi Indonesia yang diadakkan oleh Braindilog Sociology. Selain berisikkan gagasan penulis yang beragam dalam menganalisis permasalahan-permasalahan sosial, penulisan buku ini dimaksudkan, “...mengajak khalayak umum pecinta sosiologi maupun pegiat sosial atau para penulis bersama-sama mengenal tokoh-tokoh Sosiolog di Indonesia dan menggunakan konsep maupun teorinya sebagai pisau analisis dalam melihat permasalahan yang diangkat” (hal vi).
Dengan dasar pemikiran di atas maka terpilihlah dua puluh artikel pembahasan yang memotret kenyataan sosial masa kini mulai dari fenomena bullying (hal 11-20), persekusi (hal 21-29), hegemoni kurikulum nasional (hal 57-64), perilaku mahasiswa dalam group whatsap (hal 87-93), selfie (hal 125-121), persoalan petani dan hutan (hal 115-123), interaksi masyarakat dengan teknologi (hal 171-177) dan sejumlah pemikiran sosiolog Indonesia bagi Ilmu Sosiologi (hal 177-185).
Dengan analisis sosial menggunakan perspektif sosiologi mengenai fenomena bullying, maka tindakkan bullying bukan hanya sekedar sebuah tindakkan yang mempermalukan dan mencederai seseorang melainkan dilihat sebagai, “Pada perspektif interaksionisme simbolik, bullying merupakan bentuk interaksi kekuasaan (power) yang dibangun antarsiswa dengan menggunakan simbol-simbol kekerasan” (hal 16).
Dengan analisis sosial menggunakan perspektif sosiologi mengenai perilaku pengguna aplikasi group whatsapmahasiswa sosiologi di sekolah tertentu ditemukan sejumlah karakteristik perilaku anggota group, “Interaksi yang dilakukan secara on line melalui group whatsapp ini menunjukkan beberapa sikap setiap anggotanya, ada yang selalu merespons pesan yang dikirimkan sesama anggotanya, ada yang menjadi silent reader atau anggota yang hanya membaca pesan tapi tidak menanggapi, ada juga yang tidak membaca pesan sama sekali dan hanya membiarkan grup tersebut dalam keadaan bisu” (hal 90).
Dengan analisis sosial menggunakan perspektif sosiologi mengenai fenomena selfie, ternyata aktifitas selfie telah menjadikan semua ruang privat dan ruang publik sebagai komoditas (bernilai jual) sebagaimana diulas, “Tak hanya ruang publik perkotaan. Alam pun tak luput dari komodifikasi. Jika pada tahun 1960-an Soe Hok Gie naik gunung berkawan buku, melakukan refleksi pemikiran dan melahirkan saja-sajak yang aduhai. Saat ini kelas menengah unyu perkotaan naik gunung bermodalkan ponsel pintar dan persedian makanan. Selfie di mana-mana. Satu lokasi dipotret dengan berbagai sudut pandang. Seolah-olah telah menjadi sang petualang”(hal 129).
Dengan analisis sosial menggunakan perspektif sosiologi mengenai fenomena penebangan hutan, tidak hanya dilihat sebagai sebuah tindakkan kriminal oleh salah satu pihak (petani) melainkan minusnya kebijakkan pemerintah yang partisipatif sebagaimana dikatakan, “Masyarakat desa hutan terutama bukan manusia tanpa pengetahuan. Kearifan dan pengetahuan lokal telah membesarkan mereka dan seharusnya dapat berpartisipasi dalam pembangunan untuk defortasi hutan Jawa” (hal 121).
Tidak kalah menariknya diakhir buku ini dipaparkan ketokohan sosiolog Indonesia perintis Sosiologi Perdesaan yaitu Prof. Sajogyo (1926-2017) yang pernah menjabat sebagai Guru Besar pada Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1963 dan penerima Habibie Award 2011. Sosiolog kelahiran Karanganyar, Kebumen ini pernah menuliskan sebuah buku dengan judul Modernization Without Developtent (1973) dan dipaparkan dalam seminar FAO di Bangkok dimana buku ini “mengritik jalannya revolusi hijau. Menurutnya kebijakkan ini tidak mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh petani bahkan akan melahirkan kesenjangan yang semakin lebar. Modernisasi sektor pertanian sebagai kendaraan untuk mencapai kehidupan petani yang berkemajuan hanya sampai pada lapisan atas, sementara petani gurem tidak tersentuh” (hal 180-181). Masih dalam artikel yang sama disinggung kontribusi pemikiran Prof. Sajogyo dibidang metodologi riset, “Warisan metodologi riset dari Prof. Sajogyo menjadi sangat khas dalam pengembangan ilmu sosiologi di Indonesia. Diantaranya adalah mengembangkan penelitian dan menghasilkan data pda aras mikro berupa desa, rumah tangga hingga individu yang kemudian berfungsi sebagai tandingan (counter) data makro yang dikeluarkan oleh pemerintah. Mengingat data mkro seringkali lebih condong memuat angka berupa puja-puji keberhasilan pemerintah daripada potret asli realitas hidup masyarakat yang paling lemah” (hal 183)
Catatan Kritis
Sebagai sebuah kompilasi (pengumpulan) analisis sosial terhadap kenyataan sosial, beberapa penulis dalam ulasannya tidak serta merta menyajikkan ketajaman dan hanya membuat kesimpulan yang terlalu banal (dangkal) sekalipun dengan mengutip pendapat seorang sosiolog, seperti analisis terkait maraknya persekusi (kekerasan dan main hakim sendiri) yang dihubungkan atas dasar sentimen ras dan agama, salah satu penulis mengatakan, “Mengutip pendapat pakar sosiolog dari Universitas Ibnu Khaldun Jakarta, Musni Umar mengatakan maraknya tindakkan persekusi yang dilakukan individu atau suatu kelompok terhadap anggota masyarakat lain diakibatkan karena kondisi aparat hukum yang kurang atau belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Berawal dari ketidakpercayaan individu atau kelompok terhadap aparat penegak hukum yang sedikit membiarkan masalah ini terus berasap, berkembang dan meluas. Sehingga muncul adanya upaya untuk memilih menjadi hakim di jalan dengan harapan tuntutan rasa keadilan, menjadi alat kontrol sosial bagi mereka dan efek jera terhadap individu atau kelompok yang terlibat” (hal 26).
Penjelasan di atas membawa implikasi sosiologis bahwa pemerintah atau aparat keamanan diharuskan memenuhi tuntuttan setiap masyarakat sekalipun melanggar undang-undang (swepping oleh ormas keagamaan secara semena-mena, pemukulan terhadap seseorang yang menyatakkan pendapat seara berbeda dll). Jika persekusi hanyalah dipahami sebatas lemahnya respon aparat keamanan, bagaimana menjelaskan persekusi dan aksi main hakim sendiri dengan mempermalukkan seseorang di muka publik dengan menelanjangi kedua pasangan yang dituduh melakukan perbuatan mesum namun sama sekali tidak terbukti setelah di selidiki oleh aparat keamanan? Bagaimana pula dengan aksi persekusi dan main hakim sendiri dengan membakar seseorang yang dituduh mencuri properti di sebuah rumah ibadah sekalipun minus bukti? Fakta-fakta tersebut lebih memperlihatkan melembaganya pola berfikir irasional dalam menyelesaikkan persoalan dengan mengedepankan emosionalitas tinimbang menyalahkan aparat keamanan.
Penjelasan di atas membawa implikasi sosiologis bahwa pemerintah atau aparat keamanan diharuskan memenuhi tuntuttan setiap masyarakat sekalipun melanggar undang-undang (swepping oleh ormas keagamaan secara semena-mena, pemukulan terhadap seseorang yang menyatakkan pendapat seara berbeda dll). Jika persekusi hanyalah dipahami sebatas lemahnya respon aparat keamanan, bagaimana menjelaskan persekusi dan aksi main hakim sendiri dengan mempermalukkan seseorang di muka publik dengan menelanjangi kedua pasangan yang dituduh melakukan perbuatan mesum namun sama sekali tidak terbukti setelah di selidiki oleh aparat keamanan? Bagaimana pula dengan aksi persekusi dan main hakim sendiri dengan membakar seseorang yang dituduh mencuri properti di sebuah rumah ibadah sekalipun minus bukti? Fakta-fakta tersebut lebih memperlihatkan melembaganya pola berfikir irasional dalam menyelesaikkan persoalan dengan mengedepankan emosionalitas tinimbang menyalahkan aparat keamanan.
Para penulis buku ini juga tidak mengeksplorasi pemikiran-pemikiran sosiolog Indonesia lainnya yang terkemuka dalam beberapa pemikiran yang dituangkan dalam buku-buku mereka seperti DR. Arif Budiman (pernah menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana tahun 1985-1995 sebelum berpindah ke Australia dan menjadi profesor di University of Melbourne dan juga adalah kakak kandung tokoh mahasiswa tahun 1960-an Soe Hok Gie) dan DR. George Aditjondro (pernah menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana sebelum berpindah ke Australia dan menjadi pengajar di University of Newcastle serta dikenal sebagai penulis buku kontroversial Membongkar Gurita Cikeas pada tahun 2009 lalu) sehingga judul buku Kajian Analisis Sosial Dengan Pendekatan Konsep Teori Tokoh Sosiologi Indonesiamenjadi kurang berimbang menyajikkan konsep dan pemikiran sosiolog Indonesia.
Konklusi
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan buku ini, setidaknya sebuah upaya untuk melihat kenyataan sosial yang terjadi di Indonesia secara nasional maupun lokal (ketertiban sosial, fenomena sosial, perubahan sosial, persoalan-persoalan sosial) dari perspektif Sosiologi telah dimulai dan terus menerus dilakukan sebagai sebuah upaya untuk melakukan apa yang diharapkan oleh salah satu penulis sosiologi bernama Hamzah Fansuri yaitu, “...mengeksplorasi sosiologi sebagai disiplin ilmu sosial yang mampu menjawab arus perubahan sosial mulai dari lingkung lokal kedaerahan, dimana isu-isu kerakyatan menjadi pegangan utama selain sebagai bentuk keberpihakkan terhadap masyarakat marjinal”[3]
[1] Teguh Hindarto, Dekonstruksi Pemahaman Bias Terhadap Ilmu Sosial
https://www.qureta.com/post/dekonstruksi-pemahaman-bias-terhadap-ilmu-ilmu-sosial
[2] Braindilog Sociology, Kajian Analisis Sosial Dengan Pendekatan Konsep Teori Tokoh Sosiologi Indonesia, Surakarta: Kekata Publisher 2017
[3] Hamzah Fansuri, Sosiologi Indonesia: Diskursus Kekuasaan dan Reproduksi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES 2015, hal 197
0 Komentar