Dengan menggunakan definisi deskriptif, istilah “Alun-alun” dalam konteks modern yaitu sebuah ruang terbuka dan luas yang ditandai sejumlah elemen-elemen berikut yang ada disekelilingnya yaitu keberadaan pohon beringin di tengah lapangan luas, gedung pusat pemerintahan baik eksekutif dan legislatif serta tempat peribadatan (masjid) di sekitar alun-alun.
Alun-Alun Sebagai Ruang Material: Aspek Historis dan Sosiologis
Alun-alun sebagai salah satu ruang publik terbuka memiliki sifat historis dan sosiologis. Sifat historis dimaksudkan keberadaan alun-alun telah tercatat sejak zaman raja-raja memerintah di Nusantara dan nampaknya merupakan salah satu warisan struktur ruang dari zaman aristokrasi untuk era demokrasi di Indonesia khususnya Jawa.
Mpu Prapanca dalam Kitab Negarakertagama mendeskripsikankeberadaan Majapahit baik dari struktur pemerintahan, kehidupan sosial, hukum, tata negara, luas wilayah yang dilaporkan dalam bait-bait sastra sebanyak 98 pupuh yang menceritakan sebuah periode pemerintahan Kertanegara (1359) dan Rajasanegara (1365). Menurut Prof. DR. Slamet Mulyana, “Pupuh 8 sampai 12 menguraikan seluk beluk istana Majapahit dari keindahannya sampai sampai para punggawa dan pegawai kerajaan. Secara terperinci sang pujangga menyajikan uraiannya tentang istana Majapahit. Tembok batu merah, tebal lagi tinggi, mengitari istana. Pintunya di sebelah barat menghadap ke lapangan luas yang di kelilingi parit. Halamannya ditanami pohon brahmastana, berjajar-jajar memanjang, bermacam-macam bentuknya. Di situlah tempat para tanda berjaga secara nergilir, meronda, mengawasi paseban. Di sebelahh utara, gapuranya indah permai, berpintu besi penuh ukiran. Di sisi timur pintu adalah panggung luhur, lantainya berlapis batu putih, berkilauan. Alun-alunnyamembujur dari utara ke selatan, berpagar rumah berimpit-impit memanjang indah”(Tafsir Sejarah Negarakertagama, 2006:4-5).
Bukan hanya di era Majapahit, bahkan era Mataram saat kolonialisme Belanda berkuasa, dilaporkan perihal kebiasaan masyarakat yang hendak mengadukan persoalannya pada sang raja dan meminta keadilan akan duduk bersila seharian di sana dengan menggunakan tutup kepala putih dan pakaian putih. Tata cara ini disebut dengan “pepe”. Jika raja melihat keberadaan orang tersebut maka raja akan memerintahkan untuk membawa orang tersebut menghadap dan mengadukan persoalannya secara langsung. Dalam bukunya, Atmakusumah mengatakan, “Adanya cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang baru atau barang yang diimpor dari negara lain” (Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX , 2011:122).
Sementara sifat sosiologis dimaksudkan bahwasanya alun-alun biasanya menjadi pusat pertemuan dan interaksi sosial serta kegiatan warga, mulai dari aktifitas ekonomi baik di siang atau malam hari mulai dari pedagang makanan hingga mainan anak-anak, aktifitas olah raga di pagi hari, upacara nasional, pesta hiburan rakyat mulai dari kesenian tradisional hingga pertunjukkan seni modern kontemporer. Tidak lupa tentunya sejumlah aktifitas muda dan mudi yang memanfaatkan alun-alun dari mulai bercengkrama dengan pasangannya hingga berselfie ria sebagai gaya hidup di era teknologi informasi.
Alun-Alun Sebagai Ruang Sosial Kultural: Ekspresi Perilaku Sosial Budaya Masyarakat
Alun-alun, bukan hanya sebuah ruang material yaitu ruang publik terbuka dengan sifat historis dan sosiologisnya melainkan ruang yang bersifat sosial kultural dimana bisa menjadi tolok ukur perilaku sosial budaya masyarakatnya. Yang saya maksudkan perilaku sosial budaya adalah tindakkan individu atau kelompok yang mencerminkan pemahaman kebudayaan yang diperlihatkan melalui perilaku keseharian.
Sebagaimana dikatakan seolah Koentjaraningrat, seorang Antropolog bahwa kebudayaan berasal dari kata buddhayah (bahasa sangsekerta) yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengn demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal (Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, 1992:9). Dalam bukunya yang lain, Koentjaraningrat mendeskripsikan perihal tiga wujud kebudayaan yaitu: Pertama, sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Sifatnya abstrak dan tidak dapat dirapa atau dipotret. Tersimpan di kepala atau alam pikiran individua dan masyarakat. Kedua, suatu komples aktivitas serta tindakkan berpola dari manusia dalam masyarakat. Berbeda dengan yang pertama, wujud yang kedua ini dapat dilihat dalam sistem sosial suatu masyarakat yang mengatur pola-pola interaksi satu sama lain. Ketiga,sebagai suatu karya yang dapat diraba dan disentuh mulai dari benda-benda bernilai seni baik berupa tarian, pakaian, kesenian, produk barang dll (Pengantar Ilmu Antropologi, 1985:187-188).
Dengan pemahaman perihal definisi kebudayaan dan wujudnya, maka alun-alun bisa menjadi tolok ukur ekspresi perilaku sosial kebudayaan masyarakatnya. Alun-alun yang bersih dan tertata rapih baik dari aspek pertamanan, rerumputan, lokasi perdagangan, keamanan orang-orang yang memanfaatkan keberadaannya.
Saya kerap memanfaatkan alun-alun yang ada di kota Kebumen sebagai tempat untuk berolahraga pada pagi hari (sekalipun tidak setiap hari) dengan berjalan berkeliling. Sayangnya, kenyamanan berolah raga pagi hari kerap terganggu oleh beberapa hal yaitu serakkan sampah yang bertebaran di sana sini, tumpukkan sampah menggunung di beberapa titik taman belum sempat diambil oleh petugas, aroma air seni di sepanjang sudut taman serta aksi vandalisme yang disematkan pada pilar-pilar penghias alun-alun. Belum lagi didapatinya sejumlah tuna wisma yang berkeliaran yang kerap menimbulkan kekuatiran warga karena perilakunya yang tidak terduga (berteriak-teriak, meminta makanan dll).
Sebenarnya petugas pembersih sampah bukannya tidak bekerja. Mereka telah mengerjakan tugasnya untuk membersihkan serakkan sampah dan pada jam yang telah ditentukkan akan ada petugas yang mengangkuti tumpukkan sampah serta perawat taman selalu memangkas rumput dan daunan pepohonan yang mulai tumbuh liar. Namun yang menjadi masalah adalah perilaku sosial dan budaya masyarakat yang terus menerus membuang sampah tidak pada tempatnya serta membuang air seni di taman yang banyak pepohonannya sehingga hampir setiap pagi orang-orang yang memanfaatkan alun-alun terganggu kenyamanannya.
Reduksi Pemahaman Perihal Kebudayaan: Bukan Sekedar Kesenian
Ketika kebudayaan hanya dipahami sebagai kegiatan kesenian (teater, tarian, puisi) maka telah terjadi pereduksian (pemangkasan) dan banalitas (pendangkalan) pemahaman terhadap kebudayaan. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa kesenian hanyalah salah satu wujud kebudayaan sementara wujud yang lain berupa kompleksitas nilai dan norma serta perilaku berpola dari masyarakatnya.
Pemahaman yang bersifat reduktif dan banal di atas menyebabkan individu dan masyarakat tidak merasa bahwa perilaku seperti membuang sampah sembarangan, membuar air seni di taman, melakukan aksi vandalisme yang merusak keindahan, mencerminkan ketidakberbudayaan atau kalaupun disebut kebudayaan adalah kebudayaan yang negatif.
Berangkat dari pemahaman reduktif dan banal tersebut maka diperlukan upaya-upaya re-edukasi pada masyarakat agar mengubah perilaku sosial budayanya dan memperluas pemahaman kebudayaan bukan hanya sekedar kesenian melainkan perilaku keseharian yang sudah menubuh menjadi kebiasaan alias gaya hidup.
Lembaga pendidikan formal diharapkan menjadi ujung tombak perubahan perilaku sosial budaya para siswa didiknya. Mata pelajaran yang bertema sosial dan budaya bukan hanya sekedar mengulang dan menghafal definisi-definisi kebudayaan namun mendekatkan para siswa didik pada perilaku kebudayaan dalam keseharian termasuk budaya membuang sampah pada tempatnya dan budaya membuang air seni pada tempatnya serta mengekspresikan bakat seni pada tempatnya.
Sementara itu peran pemerintahan daerah melalui dinas terkait dapat mengambil peran lebih maksimal dengan menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah lebih banyak dan di tempat yang memungkinkan dijangkau masyarakat. Perlu kreatifitas dalam membudayakan perilaku tidak membuang sampah sembarangan dengan melakukan sosialisasi secara verbal dengan pengeras suara pada saat kegiatan masyarakat diadakan semacam Car Free Day dsj. Sayangnya saat ini ruang kecil di sudut jalan yang dahulu dipakai untuk kamar mandi atau toilet publik saat ini tidak tersedia, sehingga ketidaktersediaan ini dapat melegitimasi kembali perilaku sejumlah masyarakat untuk membuang air seni secara sembarangan.
Kiranya alun-alun Kebumen bukan hanya menjadi ruang material dimana masyarakat bertemu dan berinteraksi dalam berbagai kegiatan sosial dan ekonomi serta aktifitas kebudayaan namun menjadikan alun-alun sebagai ruang sosial kultural dimana masyarakatnya memperlihatkan perilaku kebudayaan dan keadaban yang positif dan modern sehingga tercipta kondisi lingkungan yang nyaman dan aman serta bersih.
0 Komentar