BENARKAH BATU AKSARA CINA ADALAH PRASASTI ERA CENG HO?

Dalam sebuah artikel berjudul, “Temuan Prasasti Berhuruf Cina Penguat Keberadaan Tokoh Besar Nusantara di Panjer – Kebumen” (http://kebumen2013.com/temuan-prasasti-berhuruf-cina-penguat-keberadaan-tokoh-besar-nusantara-di-panjer-kebumen/), Ravie Ananda menghubungkan benda yang ditemukannya di bekas Pabrik Mexolie di kawasan dekat Stasiun Kebumen sebagai sebuah prasasti dari era Ceng Ho. Mari kita ikuti sejumlah argumentasi dan pernyataan dalam artikel tersebut.


“Penemuan prasasti berhuruf Cina pada tanggal 16 Januari 2014 di kawasan ini menambah kuat bukti betapa pentingnya Kebumen di masa lalu (khususnya area pabrik yang dahulunya merupakan ibukota kerajaan Panjer) sebagai sebuah daerah yang ramai di wilayah Barat yang telah dikenal sejak zaman berjayanya kerajaan Kediri dan berakhir pada awal berdirinya kerajaan Demak. Mulai masa itulah ibukota kerajaan tersebut berubah menjadi ibukota kadipaten Panjer hingga tahun 1832.

Tulisan dalam prasasti itu sebagai berikut:






 
jika ditulis mendatar menjadi 爪哇耐人口
Berdasarkan penelitian sementara yang dihubungkan dengan data – data sejarah Panjer dapat disimpulkan beberapa kemungkinan :

爪哇 Zhǎo wā ;= Jawa/Pulau jawa

耐 nài= residen/penduduk asli; atau resistant = mampu mentolelir

人口 rén kǒu population = populasi

dapat diartikan sebagai :

(1)    Jawa mampu mentolerir populasi, Terjemah bebasnya dapat berarti bahwa penduduk asli Jawa (khususnya di negara PANJER) bisa menerima/toleran terhadap pendatang yang notabene adalah kaum Tionghoa.  Dimungkinkan pada masa itu di Negara PANJER telah terjadi hubungan dagang antara Jawa dan Tionghoa. ….

(2)    Jawa mampu bertahan dengan populasi abadi; bisa diartikan pula bahwa Jawa dapat bertahan sampai kapan pun atau Jawa (khususnya tempat tersebut) mempunyai daya tahan atau merupakan pertahanan yang sangat kuat. Ini terbukti baik pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma yang menjadikan tempat ini sebagai pusat kekuatan logistik, Sultan Amangkurat I yang menjadikan tempat ini sebagai pelarian dan berlindungnya dari kejaran Trunajaya yang berhasil merebut kraton Mataram, Pangeran Mangkubumi yang didukung 30000 pasukan Panjer hingga melahirkan perjanjian Giyanti, Pangeran Dipanegara yang menjadikan tempat ini sebagai pusat pertahanan dan logistiknya hingga adanya pengepungan dan pembumihangusan ibukota Panjer oleh Belanda dari tiga jurusan pasca tertangkapnya Dipanegara yang mengakibatkan Pemimpin Panjer bergelar Tumenggung Kalapaking IV seorang berdarah Jawa – Tionghoa gugur. ….


lafal ke 4 selain berarti tempat, dapat pula berarti; tahan (sabar) berkaitan dengan sifat/mental.

Sehingga setidaknya bisa disimpulkan bahwa:

Pertama; batu itu sebagai penunjuk tempat bermukim sekelompok atau salah satu suku asli Jawa.

Kedua; batu itu sebagai suatu prasasti (mungkin juga batu nisan) yang menunjukkan adanya “Orang Jawa yang memiliki sifat tahan/tabah/sabar”.

Mengacu pada kajian tersebut kemungkinan yang dimaksud adalah Kuwu Panjer dan Gajah Mada karena dekat dengan lokasi penemuan prasasti itu terdapat beberapa situs yakni Makam Kuwu Panjer, Pamoksan Gajahmada/Sabda Palon dan Pertabatan Amangkurat I serta ditemukan pula nisan – nisan kuno dari batu padas dengan bentuk unik yang seragam sebagai penunjuk sebuah kurun peradaban. ….Bentuk huruf yang digunakan pada prasasti tersebut diperkirakan jaman Laksamana Cheng Ho. Besar kemungkinan masih ada prasasti lain yang terkubur di lokasi tersebut”

Demikianlah argumentasi dan pernyataan Ravie Ananda perihal temuan batu andesit bertuliskan爪哇耐人口. Kita akan mengkaji dan menguji pernyataan Ravie Ananda terkait dengan penemuan batu andesit yang diklaimnya sebagai sebuah prasasti dari era Ceng Ho.

Apakah Prasasti itu?

Ada problematika dalam peristilahan (terminology) yaitu “prasasti” dan “inskripsi”. Prasasti adalah benda-benda budaya yang bertulisan. Menurut Prof. Dr.Boechari dalam bukunya, "Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti"  (2012) mengatakan, "Prasasti ialah sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di atas batu atau logam”. Prasasti biasanya berisikan pujian, penghormatan, peringatan sebuah peristiwa bahkan pernyataan kutukkan. Djulianto Susatyio menyamakan prasasti dan inskripsi dengan mengatakan, “Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut inskripsi. Sementara orang awam mengenalnya sebagai batu bertulis atau batu bersurat” (Dicari: Ahli Baca Prasasti - https://hurahura.wordpress.com/2010/03/06/dicari-ahli-baca-prasasti/). 

Istilah “Prasasti” sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “Pujian”. Namun dalam perkembangannya bisa menunjuk pada piagam, undang-undang, surat keputusan. Di kalangan arkeolog asing biasanya disebut dengan “Enscription” atau “inskripsi” yang bermakna “tulisan yang disematkan dalam batu atau benda tertentu”. Sekalipun kata Inggris “Enscription” diterjemahkan “Prasasti” ke dalam bahasa Indonesia, namun menurut hemat saya sebuah inskripsi belum tentu sebuah prasasti. Artinya, inskripsi baru menjelaskan sebuah kata atau kalimat atau nama yang disematkan di sebuah benda khususnya batu namun apakah itu berisikan maklumat, pengumuman, pujian? Belum tentu. Oleh karenanya saya lebih cenderung mengartikan prasasti bukan sekedar sebuah inskripsi melainkan isinya mengandung muatan yang jelas baik berupa pujian, maklumat, kutukkan, undang-undang.

Di Indonesia berlimpah sejumlah temuan prasasti di hampir seluruh wilayah tanah air. Ada prasasti yang tertulis dalam bahasa Sansekerta, Tamil, Khmer, Melayu, Jawa, Bali, Portugis, Sunda dan Belanda. Kita akan perlihatkan tiga contoh bentuk prasasti dan inskripsi yang tertulis di dalamnya. Termasuk salah satu contoh prasasti di luar Indonesia.

Prasast Kutai



Prasasti Mulawarman, atau disebut juga Prasasti Kutai, adalah sebuah prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi.

Prasasti Ciaruteun




Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan di tepi sungai Ciaruteun, tidak jauh dari sungai Ci Sadane, Bogor. Prasasti tersebut merupakan peninggalan kerajaan Tarumanagara (358-669 Ms)

Prasasti Singasari


Prasasti Singhasari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah. Ditulis dengan Aksara Jawa. Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada.

Prasasti Ibrani-Aramaik



Bagian dari prasasti berbahasa Ibrani dan Aram pada lempengan marmer yang ditemukan di tepi Laut Galilea di lokasi Yahudi Bizantium Kursi. (University of Haifa).

Apakah Batu Andesit Bertuliskan Aksara Cina Sebuah Prasasti?

Dengan membandingkan bentuk dan bahasa serta struktur kata dan profil beberapa contoh prasasti di atas (Prasasti Kutai, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Singasari) maka kita bisa melihat gambaran umum dalam sebuah prasasti yaitu siapa yang membuat dan dengan maksud apa prasasti di buat dan pada tahun berapa saat prasasti ini dibuat serta susunan kalimat yang kerap berwujud susunan sastra baik berupa sajak atau seloka. Kalau hanya mendasarkan pada pengertian “inskripsi” alias “batu bertulis” maka batu beraksara Cina tersebut bisa disebut prasasti namun dikarenakan ketidakjelaskan kalimat dan siapa penulisnya dan dengan tujuan apa, maka eksistensi batu beraksara Cina tersebut sebaiknya tidak tergesa disebut sebagai prasasti. Saya lebih cenderung menamainya sebuah batu dengan inskripsi namun belum berkategori sebuah prasasti.

Jika kita melihat foto batu beraksara Cina yang ditampilkan oleh Ravie bahkan tanpa meminta sebelumnya konfirmasi para sejarawan atau arkeolog hingga kemudian diklaim sebagai sebuah prasasti, justru tulisan dan susunan kalimat tidak menjelaskan apapun dan hanya meninggalkan sejumlah interpretasi yang samar. 

Batu bertuliskan 爪哇耐人口 diterjemahkan oleh Ravie (tanpa merujuk siapa sumber penerjemahnya atau kemampuannya dalam menerjemahkan inskripsi dan epigrapi) menjadi “Jawa mampu mentolerir populasi” dan “Jawa mampu bertahan dengan populasi abadi”. Ketika saya bertanya pada seorang guru bahasa Mandari , susunan kalimat tersebut diterjemahkan, “Ini adalah tentang perlawanan terhadap populasi/pertumbuhan penduduk di pulau Jawa”. Ketika saya tanya apakah aksara ini berkarakter Cina Klasik atau Cina Modern, guru bahasa Mandarin tersebut menjawab bahwa ini adalah aksara Cina Modern. Bahkan ketika saya konversikan ke penerjemah on line Google Translate pun aksara tersebut terbaca demikian:

爪哇: Jawa

耐: Perlawanan

人口: Populasi
 
Dari susunan terjemahan demikian, sangat sulit untuk menafsirkan mana kalimat yang paling tepat, apalagi menafsirkan maksud penggunaan kalimat tersebut, namun anehnya Ravie Ananda dengan mudahnya membuat sejumlah tafsir yang melompat dari teks dengan menghubungkannya dengan Gajah Mada dan pemerintahan Panjer. Padahal, istilah untuk Jawa dalam catatan ekspedisi Cina sebelum Ceng Ho biasa disebut dengan nama “Ye-Tiao” (tarikh 134 Ms) atau dalam catatan Fa Hien disebut “Ye-Po-Ti” (414 Ms). Ada pula yang mengeja “Shepo/Chopo/Cao Wa” (Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, 2010:24-26).

Eksistensi Tionghoa di Kebumen: Melacak Tan Peng Nio

Keberadaan etnis Tionghoa telah lama masuk ke Nusantara sekitar Abad 4 Ms. Ini dapat dilacak dari sejumlah catatan bersejarah yang ditulis oleh para rohaniawan Tionghoa yang berkunjung ke Jawa dan Sriwijaya. Prof. Slamet Mulyana menuliskan fakta sejarah dengan menyebutkan beberapa nama seperti Fa Hien yang menuliskan perjalanan ziarahnya antara tahun 399 sampai 414 dengan judul Fahueki. Kemudian rohaniawan I Tsing yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan menuliskan buku sejarahnya dengan judul Nan-hai-chi-kuei-naifa-chuan dan Ta-t’ang-si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan. Kemudian pada ekspedisi pertama laksamana Ceng Ho tahun 1405 singgah di bandar Samudra Pasai hingga menimbulkan hubungan baik antara Tiongkok dan Samudra Pasai dan menarik para saudagar Tiongkok datang ke Pasai. Bahkan dalam kajiannya yang kontroversial Prof Slamet Mulyanan mengidentifikasi bahwa beberapa dari anggota Wali Songo serta pemimpin Demak berdarah Tionghoa (Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, 2013:1-99).

Kapan masyarakat Kebumen khususnya pemerintahan Kadipaten Panjer sebagai sebuah wilayah bagian dari Mataram berinteraksi dengan etnis Cina/Tionghoa? Kita tidak mendapatkan keterangan yang jelas perihal perjumpaan awal, namun dengan melacak keberadaan sebuah makam di wilayah Kalijirek yang dihubungkan dengan sebuah nama yaitu Tan Peng Nio, maka kita bisa melacak setidaknya tahun perkiraan etnis Cina/Tionghoa mulai berada di wilayah Panjer atau Kebumen.

Menurut catatan yang ditulis oleh R. Tirto Wenang Kolopaking, Tan Peng Nio adalah istri kedua dari K.R.A.T. Kolopaking III (Sulaiman Kertowongso). Keempat istri Kolopaking III adalah: Raden Ayu Sekar Mayang Sari (putri Kyai R. Ngabei Reksoprojo II), Raden Ayu Tan Peeng Nio (putri dari Champa anak dari Jenderal Tan Wan Swee), Raden Ayu Ambini (putri K.R.T. Arung Binan II), Raden Ajeng Sekar Lasih (putri K.R.A. Aryo Danurejo II) – Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Kiai Geng Mangir – Kolopaking – Arung Binang, Trah Kolopaking, 2005:256).

Dalam bukunya, R. Tirto Wenang Kolopaking menjelaskan perihal siapa Tan Peng Nio secara singkat. Menurutnya, Tan Peng Nio adalah anak dari Jenderal Tan Wan Swee yang berselisih pendapat dan melakukan pemberontakkan yang gagal terhadap Kaisar Kien Long dari Dinasti Qing, Manchuria (Ibid., hal 358). Jenderal Tan Wan Swee sebelumnya pernah menitipkan putrinya yang bernama Tan Peng Nio kepada sahabatnya Lia Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati dan ahli bela diri. Saat kudeta gagal Tan Peng Nio menjalani pelarian bersama Lia Beeng Goe ke Singgapura kemudian ke Sunda Kelapa (Jakarta).



Pada saat terjadi huru-hara yang terkenal dengan Geger Pecinan (1740) dimana terjadi pembantaian etnis Tionghoa oleh kekuatan VOC, diceritakan bahwa Lia Beeng Goe dan Tang Peng Nio mengungsi ke arah Timur hingga tiba di Kutowinangun dan bertemu dengan Kiai Honggoyudho yang mahir membuat senjata. Ketika terjadi peperangan dan penyerbuan selama 16 tahun oleh Pangeran Garendi yaitu dari tahun 1741-1757, maka Tan Peng Nio dikabarkan bergabung dalam 200 pasukan K.R.A.T. Kolopaking II yang dikirmkan untuk membantu pasukan Pangeran Garendi. Tan Peng Nio dikabarkan menyamar menjadi prajurit laki-laki. Paska peperangan berakhir di meja perundingan Giyanti (13 Februari 1755), putra K.R.A.T. Kolopaking II yaitu Raden Sulaiman Kertowongso yang pernah tergabung dalam 200 pasukan Panjer Rooma yang dikirim dan bergabung dengan Pangeran Garendi, pada akhirnya menikahi Tang Peng Nio dan kelak kemudian hari menggantikan ayahnya menjadi K.R.A.T. Kolopaking III.

Anehnya, ketika saya mencoba menelusuri perihal Kaisar Qianlong (1711-1799) dan menelusuri melalui situs on line, maka tidak pernah ada catatan perihal kudeta yang dilakukan oleh seorang bernama Jenderal Tan Wan Swee (Qianlong Emperor - https://en.wikipedia.org/wiki/Qianlong_Emperor). Yang menarik, dalam buku Sartono Kartodirjo, ada sebuah nama tokoh pemimpin pemberontakkan yang membantu Pangeran Garendi dengan nama “Tai Wan Sai” dan tidak ada keterangan selain kalimat, “Sementara  itu, oleh karena telah kehilangan banyak pengikut, Mas Garendi menyerah di Surabaya pada 3 Oktober, akhirnya ia diasingkan ke Sailan. Segerombolan Cina di bawah Tai Wan Sai melarikan diri ke Bali” (Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, 2014:265). Apakah “Tan Wan Swee” adalah “Tan Wan Sai?” Entahlah. Namun dalam sebuah situs yang membahas perihal sejarah Tionghoa di Indonesia, penulisnya menyangkal peristiwa kudeta atau yang menghubungkan nama Tan Wan Swee dengan Kaisar Qinliong (Pembantaian Batavia 1740  - http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1890-q-a-pembantaian-batavia-1740).

Dari kajian singkat di atas kita mendapati bahwa interaksi etnis Tionghoa melalui kehadiran Lia Beeng Goe dan Tan Peng Nio berkisar tahun 1740-an paska “Geger Pacinan” di Batavia dimana kemudian kedua orang beretnis Tionghoa tersebut menetap di Kutowinangun dan turut berjuang dalam pasukan Pangeran Garendi dan berakhir dengan dijadikan istri kedua K.R.A.T. Kolopaking III.

Ekspedisi Ceng Ho di Jawa

Sehubungan nama Ceng Ho disebut-sebut dalam artikel tersebut, sedikit keterangan perihal Ceng Ho perlu diberikan. Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle (1403-1424) dari Tiongkok dan kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao /Sam Po Bo, berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan seorang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.

Menghubungkan batu beraksara Cina dengan era Ceng Ho dan menamainya sebuah prasasti adalah sebuah anakronisme alias kekeliruan penempatan sebuah peristiwa dalam sejarah karena Laksmana Ceng Ho yang terkemuka itu sudah melakukan ekspedisi di Asia Tenggara termasuk Jawa beratus tahun sebelumnya yaitu 1405-1433. Sebagaimana dikatakan DR. Tan Ta Sen, “Tujuh ekspedisi besar Ceng Ho ke Samudera Barat sejak tahun 1405 sampai 1433 mengubah secara radikal lanskap politik dan agama di Kepulauan Asia Tenggara” (Ceng Ho, Penyebar Islam Dari Cina ke Asia Tenggara, 2010:223). Bagaimana mungkin nama Ceng Ho dihubungkan dengan Panjer sebagai sebuah Kadipaten sebelum Kebumen dimana nama Panjer sendiri baru dikenal dengan tarikh sekitar 1642 dan interaksi budaya Tionghoa dan Jawa di Panjer baru terjadi pada tahun 1740-an? Apalagi menghubungkan batu beraksara Cina dengan tokoh Gajah Mada menambah absurditas kesimpulan.

Kesimpulan

Dari sekian penjelasan di atas, apakah yang dapat kita simpulkan? Pertama, batu andesit bertuliskan aksara Cina 爪哇耐人口 belum tentu disebut prasasti sekalipun tulisan yang muncul dari sebuah benda khususnya batu, dalam bahasa Inggris disebut “Inscription” yang disamakan dalam arkeologi Indonesia dengan sebutan “Prasasti”. Bisa jadi batu itu hanya sebuah tulisan yang disematkan pada sebuah tembok rumah seorang Tionghoa sebagai sebuah kata mutiara tertentu, mengingat kebiasaan orang Tionghoa kuno menghiasai rumahnya dengan kain atau kayu berisikan kaligrafi dalam huruf Kanji. Katakanlah batu ini terkategori sebuah prasasti, namun tidak mungkin dari era Ceng Ho. Kedua, menghubungkan batu andesit beraksara Cina dengan nama Prasasti dari era Ceng Ho, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara historis mengingat interaksi orang Kebumen dengan sebutan Panjer di era kolonial dengan etnis Tionghoa baru dimulai sekitar tahun 1700-an. Ketiga, menafsirkan frasa 爪哇耐人口 dengan keberadaan Kuwu Panjer dan Gajah Mada merupakan kesimpulan yang absurd dan tidak berbasis kenyataan historis sama sekali.

Posting Komentar

0 Komentar