Harian Kompas melaporkan head line berjudul, “Museum Nasional Dibobol: Empat Koleksi Emas Berumur 1000 tahun Hilang”[1]. Pencurian tersebut terjadi di Museum Gajah yang telah berdiri sejak 1778. Sejumlah benda-benda yang hilang tersebut meliputi:


Lempengan Naga. Diperkirakan telah berusia sejak 10 Masehi. Ditemukan di daerah Jalatunda, Jawa Timur, lempengan emas berbentuk naga ini merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Panjangnya 5,6 sentimeter dengan lebar 5 sentimeter.

Lempengan Bulan Sabit. Diperkirakan telah berusia sejak 10 Masehi. Ditemukan di daerah Jalatunda, Jawa Timur, lempengan ini juga merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Berbentuk lempengan bulan sabit dari emas dan di kedua ujungnya ada empat buah ukiran segitiga lancip. Segitiga ini seakan membentuk cakar. Di lempengan ini ada enkripsi jawa kuno yang sudah samar. Panjangnya 8 sentimeter dengan lebar 5,5 sentimeter.

Cepuk. Sama dengan Lempengan Naga dan Bulan Sabit, artefak ini diperkirakan berusia sejak 10 Masehi sebagai peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Berbentuk seperti dandang kecil dengan tutupnya, cepuk ini terbuat dari emas dengan teknik pukul, pembengkokan, dan patri. Permukaannya tidak rata tapi kokoh dan tegak. Ada ukiran yang sudah tipis. Dasarnya agak cembung dengan bibir cepuk tajam dan menghadap ke atas. Tutupnya memiliki pegangan seperti stupa dan berongga. Diameternya 6,5 sentimeter dengan tinggi 6,5 sentimeter.

Lempengan Harihara. Ditemukan di Belahan, Penanggungan, Jawa Timur. Usianya diperkirakan sejak 10 Masehi. Dengan panjang 10,5 sentimeter dan lebar 5,5 sentimeter, lempengan ini dibuat dari campuran perak dan emas. Ada relief Harihara yang sedang berdiri di atas teratai ganda. Hirahara digambarkan berkucir ke atas dengan hiasan bunga mekar. Tangan kanan diletakan di atas tangan kiri di depan perut. Di belakang kepalanya ada hiasan sinar dewa dengan lidah api dan titik-titik. Lengannya mengenakan gelang motif bunga dan ada anting bulat. Kain yang dikenakannya sebatas lutut dan mengenakan sampur semacam selendang di kanan kiri.

Berikut foto-foto artefak tersebut[2]



Ternyata kasus hilangnya benda-benda museum khususnya di Museum Gajah bukan untuk pertama kalinya. Tahun 1992 silam museum ini pernah kehilangan keramik bersejarah dan tidak berhasil ditemukan pencurinya. Tahun 1996 beberapa lukisan Basuki Abdulah dicuri dan berhasil ditemukan kembali[3].

Peristiwa pencurian artefak bersejarah di Museum Gajah memberikan pelajaran penting sbb: Pertama, kelalaian sekuritas lokasi Museum. Mengapa dikatakan sebagai kelalaian sekuritas? Menurut laporan bahwasanya CCTV yang berada di lokasi museum yang berfungsi untuk memonitor isi dan kegiatan di Museum ternyata telah 1 tahun tidak berfungsi. Ketidak berfungsian CCTV ini bisa dikarenakan kemalasan melakukan perawatan oleh petugas atau ada unsur kesengajaan antara orang dalam dan para pencuri benda-benda bersejarah. Tugas kepolisian untuk menemukan benang merah apakah tidak berfungsinya CCTV terkait dengan unsur kesengajaan atau unsur lainnya yang tidak berhubungan.

F.F.J. Schouten memberikan definisi Museum sbb: “Museum merupakan sebuah lembaga yang bersifat permanen, melayani kepentingan masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk umum, tidak bertujuan mencari keuntungan yang mengumpulkan, memelihara, meneliti, memamerkan, dan mengkomunikasikan benda-benda pembuktian material manusia dan lingkungannya, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan, dan rekreasi”[4]. Tim Direktorat Museum menambahkan, “Museum juga merupakan sebuah lembaga pelestari kebudayaan bangsa, baik yang berupa benda (tangible) seperti artefak, fosil, dan benda-benda etnografi maupun tak benda (intangible) seperti nilai, tradisi, dan norma”[5].

Tidak berlebihan mengenai koleksi museum, Tim Direktorat Museum menjelaskan, “Museum tidak dapat dipisahkan dari koleksinya. Koleksi merupakan jantungnya museum”[6]. Mengapa dikatakan jantung museum? Karena isi yang tersimpan di dalamnya tidak ternilai harganya baik yang bersifat benda (tangible) maupun nilai-nilai (intangible). Jika koleksi museum yang terdiri benda-benda bersejarah dari rentangan abad dan peradaban yang berbeda-beda hilang maka bukan hanya benda-benda bersejarah yang turut hilang melainkan nilai-nilai luhur yang terekam dalam peninggalan tersebut hilang sebagai obyek studi dan pengkajian.

Museum Gajah atau Museum Nasional sendiri menurut Catatan di website Museum Nasional Republik Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa koleksi telah mencapai 109.342 buah. Jumlah koleksi itulah yang membuat museum ini dikenal sebagai yang terlengkap di Indonesia. Pada tahun 2006 jumlah koleksi museum sudah melebihi 140.000 buah, meskipun hanya sepertiganya yang dapat diperlihatkan kepada khalayak[7].

Mengingat nilai dan harga benda-benda koleksi museum begitu tinggi, maka pemeliharaan dan pengamanan menjadi dua bagian penting yang tidak boleh diabaikan. Pemeliharaan terkait bagaimana merawat dan menjadikan benda-benda bersejarah tersebut tidak mengalami kerusakan atau pelapukan kimiawi. Pengamanan terkait bagaimana menjaga agar benda-benda tersebut tetap pada tempatnya dan tidak berpindah ke tangan pencuri barang-barang seni.

Agus Dermawan T mengatakan bahwa “Karya seni memang sahabat pencuri”[8]. Selengkapnya dia menuliskan, “John Naibitt mengutarakan, abad XXI adalah abad seni. Semua orang akan berburu seni dengan modal apapun dan dengan cara bagaimanapun. Tren perburuan seni ini akan terus membias ke berbagai sisi. Tak hanya komunitas pencipta seni, kolektor, art dealer, galeri yang bergerak, juga kelompok di luar itu, seperti pencuri yang tiba-tiba memfungsikan diri sebagai t’tukang akuisisi’ karya seni”[9]. Oleh karenanya  harga dan nilai benda-benda seni dan bersejarah tersebut, pengamanan museum harus ekstra ketat. Matinya CCTV benar-benar sebuah kecerobohan dan kelalaian sekuratitas yang tidak bisa dimaafkan.

Kasus pencurian benda sendi disejumlah museum di Indonesia sudah terjadi sekitar 20-an kasus. Agus Dermawan memberikan komentar, “Jumlah satu kejadian untuk kasus pencurian benda seni di sejumlah institusi harus dibilang amat mengerikan. Bandingkan dengan Belanda, Inggris, Jerman yang hanya satu kasus besar per 13 tahun. Padahal negeri-negeri itu memiliki lebih dari 300 museum”[10]

Kedua, simbolisasi pengabaian terhadap nilai-nilai sejarah. Peristiwa hilangnya artefak seni dan bersejarah dengan tarikh 1000 tahun bukan hanya persoalan kegagalan sekuritas dan isyu kriminal belaka. Peristiwa ini menjadi simbolisasi pengabaian nilai-nilai sejarah. M. Ali Zaidan mengatakan, “Dalam konteks ini apakah hilangnya benda bersejarah itu harus dianggap pencurian biasa atau sebuah musibah besar, yakni hilangnya identitas bangsa ini...Namun, semua itu menunjukkan kurangnya kepedulian bangsa ini terhadap benda-benda yang bernilai sejarah dan penting untuk diwariskan kepada generasi penerus bangsa”[11].

Ketidakpedulian dan pengabaian nilai-nilai sejarah saat ini marak terjadi di Indonesia. Simak saja tayangan sejumlah sinetron yang mengangkat tema sejarah berbalut legenda seperti Damar Wulan. Kisah Damar Wulan muncul di zaman keruntuhan Majapahit. Diceritakan awalnya Damar Wulan mengabdi sebagai tukang rumput kepada Patih Loh Gender dari Majapahit. Karena kepandaiannya, Damar Wulan dapat menjadi abdi andalan Patih Loh Gender, dan Anjasmara putri sang patih terpikat dan jatuh cinta kepadanya. Damar Wulan kemudian mendapat tugas dari raja putri Majapahit, yaitu Ratu Kencana Wungu, untuk menyamar dengan tujuan membantu mengalahkan Menak Jinggo penguasa Blambangan yang bermaksud memberontak kepada Majapahit. Damar Wulan yang tampan dapat menarik perhatian selir-selir Menak Jinggo, yaitu Waeta dan Puyengan. Dengan bantuan mereka, Damar Wulan berhasil memperoleh senjata sakti gada Wesi Kuning milik Menak Jinggo. Menak Jinggo kemudian berhasil dikalahkan dan Damar Wulan menjadi pahlawan. Ia memboyong kedua selir tersebut, serta pada akhirnya juga mempersunting sang raja putri Majapahit.

Namun dalam tayangan sinetron Damar Wulan diselipkan kisah-kisah yang berbau dakwah agama Islam dengan memasukkan sejumlah tokoh  yang memiliki kemampuan supranatural dan membaca Asma Allah dengan menggunakan tasbih.

Terlepas apakah kisah Damar Wulan bersifat historis atau legenda namun dengan menyisipkan kisah-kisah berbau keagamaan tertentu di dalamnya bisa mengaburkan alur kisah tersebut khususnya bagi generasi muda yang sudah tidak peduli mengenai persoalan orisinalitas atau historitas sebuah kisah. Celakanya para sejarawan atau budayawan membisu dan tidak memberikan kritik terhadap tayangan yang bersifat anakronisme tersebut.

Berbeda dengan protes umat Hindu Bali tahun 2008 dan tahun 2012 ketika dalam salah satu sinetron Anglingdharma yang melibatkan adanya Wali Songo di dalam kisah tersebut[12]. Sebagaimana kita tahu bahwa kisah legenda Anglingdarma belatar belakang Hindu tiba-tiba disisipkan masuknya tokoh Wali Songgo yang tidak ada dalam alur kisah Anglingdarma[13].

Kisah-kisah yang mulai mengaburkan sejarah muncul pula dengan judul buku yang diterbitkan secara terbatas karya Herman Sinung Janutama, dengan judul  “Kesultanan Majapahit, Fakta Yang Tersembunyi”, diterbitkan oleh LJKP Pangurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta, edisi terbatas Muktamar Satu Abad Muhammadiyah Yogyakarta Juli 2010, yang pada intinya buku tersebut memaparkan fakta-fakta tersembunyi dengan berbagai dasar temuan sehingga mencapai suatu kesimpulan bahwa kerajaan Majapahit adalah merupakan kerajaan Islam yang berbentuk "Kesultanan Majapahit"[14].

Sangat disayangkan, para sejarawan dan budayawan terkesan mendiamkan tayangan dan publikasi yang mengaburkan kisah-kisah legenda dan kisah-kisah sejarah sehingga diklaim dengan nada superioritas menjadi milik kelompok atau agama tertentu.

Kembali kepada persoalan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai sejarah. Darimana akar ketidak pedulian ini? Kita semua mengenal sejarah melalui lembaga sekolah. Lazim menjadi anggapan umum bahwa pelajaran ilmu sejarah kerap menjadi bidang studi yang dituding membosankan[15]. Dari sikap yang apriori terhadap ilmu sejarah, maka berkembanglah menjadi sikap-sikap tidak peduli terhadap nilai-nilai sejarah. Tidak mengherankan jika kasus-kasus di atas dapat terjadi (hilangnya artefak seni bersejarah, kelalaian sekuritas menjaga benda bersejarah, sinetron anakronisme sejarah).

Sebenarnya letak persoalan bukan pada ilmu sejarah melainkan pada guru dan metode yang dipergunakan untuk mengajar sejarah. Selama sejarah hanya disampaikan dengan metode konvensional (menghafal tahun peristiwa, menghafal nama tokoh, menghafal nama peristiwa, menghafal lokasi-lokasi bersejarah) maka akan timbul kejenuhan.

Diperlukan perubahan metode dan mindset mengenai ilmu sejarah. Dituntut kreatifitas pengajar sejarah untuk mengubah image bahwa ilmi sejarah itu membosankan dan hanya bersifat hafalan. Ada sejumlah metode yang dapat menarik minat siswa terhadap sejarah. Guru tidak harus menjadi nara sumber sejarah yang menyampaikan informasi mengenai sejarah melainkan menjadi fasilitator yang mendorong murid untuk mencari topik-topik sejarah tertentu. Murid belajar menggali sendiri sumber-sumber sejarah baik melalui literatur maupun mengunjungi tempat bersejarah untuk kemudian dianalisis dan dipresentasikan di depan kelas. Dengan metode ini para murid turut terlibat bukan hanya secara kognitif melainkan secara afektif motoris terhadap ilmu sejarah.

Metode lainnya adalah menggali sejarah lokal dimana siswa tinggal. Sejarah sebuah kota, sejarah desa, sejarah tokoh-tokoh di wilayah dimana dia tinggal akan mendekatkan siswa atau murid untuk peduli sejarah lokal yang diharapkan memicu siswa menggali sejarah nasional.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan lembaga formal belaka dalam hal ini sekolah. Untuk mengikis sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai sejarah, perlu diadakan forum-forum dan pembentukan komunitas masyarakat pencinta dan peduli sejarah yang tujuannya untuk melalukan studi dan pengkajian serta pemeliharaan sejarah lokal dimana mereka tinggal. Kehadiran forum dan komunitas peduli sejarah tersebut dapat memancing minat masyarakat untuk peduli sejarah sekaligus menjadikan kajian-kajian sejarah lokal sebagai muatan lokal yang dapat ditambahkan dalam kurikulum persekolahan khususnya mata pelajaran sejarah.

Jika sekolah sebagai lembaga pendidikan gagal menanamkan sikap kritis dan peduli terhadap sejarah, maka gagap sejarah yang lebih besar akan menghinggapi bangsa ini. Padahal “sejarah adalah guru kehidupan” (Historia Magistra Vitae). Bagaimana sejarah dapat menjadi guru yang memandu kehidupan kita jika kepedulian terhadap nilai-nilai sejarah diabaikan dari lapisan pendidikan formal yaitu sekolah? Melalui revitalisasi metode penyampaian ilmu sejarah dan dibentuknya forum dan komunitas peminat kajian sejarah baik sejarah lokal maupun nasional, kiranya dapat membendung ketidakpedulian terhadap nilai-nilai sejarah yang berakibat fatal terhadap perjalanan sejarah bangsa.


END NOTE

[1] Museum Nasional Dibobol: Empat Koleksi Emas Berumur 1000 tahun Hilang, Kompas 13/9/2-13, hal 1


[2] Inilah Keempat Artefak Emas Museum Nasional yang Dicuri
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/09/12/2127017/Inilah.Keempat.Artefak.Emas.Museum.Nasional.yang.Dicuri.Itu.


[3] Museum Gajah Tak Belajar dari Pengalaman
http://sejarah.kompasiana.com/2013/09/13/ganti-saja-nama-museum-gajah-dengan-museum-tikus-589395.html


[4] F.F.J Schouten, Pengantar Didaktik Museum, Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman, Ditjen Kebudayaaan, 1992, hal 3


[5] Museum Sebagai Lembaga Pelestari Budaya Bangsa
http://arkeologi.web.id/articles/permuseuman/487-museum-sebagai-lembaga-pelestari-budaya-bangsa

[6] Ibid.,


[7] Museum Nasional Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Nasional_Indonesia


[8] Agus Dermawan T., Karya Seni Sahabat Pencuri, Kompas, 19 September 2013, hal 7

[9] Ibid.,


[10] Ibid.,


[11] M. Ali Zaidan, Pencurian Benda Purbakala dalam Konteks KUHP, Kompas, 18 September 2013, hal 7

[12] (1) Warga Bali Protes Sinetron Sembilan Wali
http://www.merdeka.com/peristiwa/warga-bali-protes-sinetron-sembilan-wali.html

(2) Diprotes Umat Hindu, 'Angling Dharma' Stop Tayang
http://celebrity.okezone.com/read/2011/03/28/206/439527/diprotes-umat-hindu-angling-dharma-stop-tayang

[13] Anglingdarma
http://id.wikipedia.org/wiki/Anglingdarma


[14] Pahrudin HM, MA, Menguak ‘Rekayasa Sejarah’ Majapahit
http://roedijambi.wordpress.com/2010/07/24/menguak-rekayasa-sejarah-majapahit/


[15] Husni Nilawati S Pd Ing, Belajar Sejarah? Ah Membosankan
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/03/16/mjqh0o-belajar-sejarah-ah-membosankan