MENIMBANG KARYA PEKABARAN INJIL KIAI SADRACH SOEROPRANOTO






MENYELARASKAN AKAR HISTORIS KEKRISTENAN
DAN AKAR KEBUDAYAAN LOKAL

Pendahuluan

Sejarah pekabaran Injil di Indonesia dan Jawa khususnya lebih banyak menampilkan peranan orang-orang Barat sementara aktivitas dan tokoh-tokoh pekabaran Injil Jawa kurang terekspos. Padahal peranan tokh-tokoh tersebut sangat besar bagi perkembangan Kekristenan di Jawa khususnya pada Abad XIX. Jika sejarah penyebar luasan Islam mengenal tokoh Sunan Kali Jaga sebagai bagian dari Dewan Wali Songo yang lebih banyak menggunakan pendekatan kultural Jawa,  maka penyebaran kekristenan di tanah Jawa pun melibatkan sejumlah nama dan tokoh yang kharismatik, dan menggunakan pendekatan-pendekatan kultural sehingga lebih mudah diterima masyarakat Jawa pada waktu itu. Sejumlah tokoh pekabaran Injil Jawa tersebut adalah Coolen, Tunggul Wulung, Paulus Tosari. Jika tokoh-tokoh tersebut berkarya di wilayah Jawa Timur, maka tokoh yang berkarya di Jawa Tengah dengan pusat kegiatan Karangyoso, Kutoarjo adalah Kiai Sadrach Suropranoto. Tanpa bermaksud membedakan ketokohan mana yang lebih penting namun sejauh ini saya menaruh minat yang dalam untuk meneliti karya pekabaran Injil Kiai Sadrach. Mengapa? Karena kisah kehidupan dan pelayanan Sadrach sarat dengan kontroversi yang menarik untuk diteliti. Sikap kontroversialnya bukan dikarenakan dia adalah orang suka dengan hal-hal nyleneh melainkan didasarkan keteguhan sikap dan pemahaman teologisnya yang memadai. C. Guillot memberikan penilaian tentang Sadrach sbb: “Sebagaimana halnya Coolen, Ibrahim pun kurang terpelajar. Keduanya memiliki sikap ‘orang lapangan’, berbda dengan Tosari dan Sadrach yang lebih memiliki figur ‘intelektual’ dengan membaca dan menafsirkan Kitab Suci”[1]

Mengkaji ketokohan dan peranan pekabar Injil Jawa - terlepas adanya tuduhan-tuduhan miring para misionaris Barat bahwa mereka berpotensi melakukan pendekatan yang sinkretis (dan saya pun tidak bisa menampik begitu saja tuduhan tersebut) - namun kita harus melihat secara jujur bahwa buah pelayanan mereka telah menghasilkan suatu kultur baru yaitu Jawa Kristen atau orang Jawa dengan pola pemikiran dan tindakan yang diwarnai ajaran-ajaran Injil. Sadrach sendiri melakukan pemilahan dengan melibatkan permenungan teologis, adat istiadat mana yang masih bisa diisi dengan nafas Injil dan mana yang harus dibuang. Kemampuan ini penting mengingat masih ditemui sampai hari ini, kelompok Kristen yang mengklaim sebagai pewaris pemikiran dan pergerakan pekabaran Injil Jawa seperti Tunggul Wulung, Tosari, Sadrach namun terlalu jauh terlibat dalam praktek sinkretisme dan sepi dari pemikiran kritis mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam adat istiadat Jawa.


Asal Usul Sadrach

Mengenai tanggal yang pasti dari kelahiran beliau, tidak didapatkan data yng akurat. Menurut Adrianse dalam “Sadrach’s Kring” dan Lion Cachet dalam “Een Jaar” serta manuskrip Karangyoso yang disusun oleh Yotham Martareja dengan judul “Sejarah Adeging Greja Karangyasa”, diperoleh data bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1835 di wilayah Jepara, Demak atau desa Luring dekat Semarang. Beliau dilahirkan dari keluarga petani. Nama kecil beliau adalah Radin dan menganut agama Islam.

Sadrach Pra Pertobatan

Beliau menempuh pendidikan di pesantren sejak usia 6-10 tahun. Sejak muda beliau senang belajar agama dan mendalami “ngelmu” sesuai kebiasaan masyarakat  Jawa pada Abad XIX dan sebelumnya. Beliau senang melakukan kegiatan asketik berupa pertapaan dan berguru ke berbagai pesantren baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Karena penguasaannya pada ilmu-ilmu keislaman, beliau menambahkan pada namanya “Abbas”, sehingga lengkapnya menjadi “Radin Abbas”. Titik balik kehidupan beliau dimulai saat bertemu dengan mantan guru ngelmunya yang bernama Kurmen. Kurmen telah memeluk agama Kristen melalui karya pekabaran Injil Kiai Tunggul Wulung. Singkatnya, Radin Abbas tertarik pada kekristenan dan menginginkan untuk mengalami permandian baptis. Beliau di bawa ke Batavia oleh Tunggul Wulung dan dipekerjakan di rumah Anthing dan pada Tgl 14 April 1867, beliau memutuskan untuk dibaptis. Nama baptis beliau adalah “Sadrach” sehingga nama beliau sejak itu adalah “Sadrach Radin Abbas” namun pada perkembangan selanjutnya lebih akrab di sapa “Kiai Sadrach”.
Sadrach Paska Pertobatan

Setelah proses baptisan, Sadrach menjadi penyebar literatur Kristen yang diterbitkan oleh Anthing dan juga mempelajari pola pelayanan Tunggul Wulung mengenai pembukaan desa kristen di Jawa Timur. Pada suatu hari, saat di desa Bondo, Jawa Timur, beliau mendapatkan “wangsit” (suara atau penglihatan supranatural) untuk pergi ke suatu tempat yang akan ditujukan oleh suara itu. Dengan berat hati Sadrach meninggalkan desa kristen yang telah dibangunnya bersama Tunggul Wulung dan berketetapan untuk pergi mengikuti panggilan suara ghaib tersebut. Sampailah perjalanannya di wilayah Karangyoso, Kutoarjo dan menjalin kerjasama pelayanan bersama Steven dan Nyonya Philip dari Purworejo. Bahkan beliau diangkat menjadi anak. Dari Karangyoso inilah kemudian Sadrach membangun komunitasnya dan memperluas pengaruh Injil dalam kehidupan masyarakat Jawa Islam.

Wilayah Pelayanan Sadrach

Sampai tahun 1899, pelayanan Sadrach meliputi Purworejo, Bagelen, Banyumas, Tegal, Pekalongan, Searang, Yogykarta, Surakarta. Laporan terakhir tahun 1933, jemaat Sadrach yang tersebar saat kematiannya berjumlah 7552 dengan jumlah jemaat lokal sebanyak 86 yang tersebar di berbagai wilayah tanah Jawa.

Metode Pelayanan

Sebagai pekabar Injil dengan latar belakang Jawa dan ngelmu, beliau melakukan pekabaran Injil dengan cara yang unik. Dia menempatkan kuasa kebangkitan Yahshua Sang Mesias (Yesus Kristus ) sebagai sentrum pemberitaannya. Metode beliau adalah perdebatan dan diskusi dengan para kiai dan guru ngelmu dari berbagai kalangan pesantren. Jika para guru ngelmu maupun para kiai tersebut tidak mampu mengalahkan argumentasi Sadrach, maka mereka dan para muridnya harus mengikuti Sadrach masuk dalam kekristenan. Tuhan mengaruniakan hikmat dan kuasa sehingga dalam berbagai kesempatan perdebatan, beliau selalu memperoleh kemenangan dan keberhasilan. Beberapa kiai ternama di zaman itu seperti Kasanmetaram, Karyadikrama, Wiradikrama, dll telah bergabung dan menjadi pengikut setia Sadrach. Orang-orang yang bertobat akan diserahkan pada pekabar Injil Belanda untuk dikatekisasi kemudian dibaptis.

Dalam beberapa kesempatan beliau diijinkan Tuhan untuk mendemonstrasikan kuasa-Nya dengan mendoakan orang mati menjadi bangkit kembali, mengusir kuasa gelap yang menghuni sawah angker, menutup kedung angker dan mengubah menjadi rumah tinggal dan bangunan ibadah, mengalahkan perampok kacu merah yang hendak merampok kediaman Sadrach.

Karakteristik Jemaat Sadrach

Jemaat Sadrach tidak mencabut dirinya dari akar kebudayaannya sebagai orang Jawa, meskipun sudah menjadi orang Kristen. Berbagai praktek budaya lokal tetap dipelihara namun terjadi pemangkasan, terutama yang tidak sesuai dengan nilai dan norma kristiani seperti candu, madat, poligami, tayuban, doa arwah, judi.

Spiritualitas Sadrach

Sadrach mempercayai Yesus sebagai Junjungan Agung & Juruslamat yang berkuasa, yang mengalami kebangkitan dari kematian serta berkuasa menaklukan roh-roh jahat. Bahkan Sadrach percaya bahwa Yesus adalah sosok Ratu Adil yang dirindukan dalam berbagai kepustakaan sastra apokaliptik Jawa. Khotbah Sadrach menekankan kekuasaan dan kejayaan Mesias yang bangkit dari kematian. Nabi-nabi lain telah wafat termasuk Muhamad namun Yesus Sang Mesias bangkit dan mengalahkan maut. Sadrach pun menekankan moralitas dan kesalehan sosial pada pengikutnya sebagai refleksi ketaatan pada Yesus Sang Ratu Adil yang akan datang.

Konflik dengan pemerintahan kolonial Belanda

Ketika itu terjadilah konflik antara Sadrach dan pengikutnya dengan beberap misonari Belanda yang berkarya di Jawa. Mereka menuduh Sadrach melakukan praktek sinkretisme, okultisme dan melawan pemerintah Belanda serta menganggap dirinya adalah pengejewantahan Ratu Adil, ingin mendapatkan perlakukan istimewa dari pengikutnya dengan cara dicium telapak kakinya, dll. Sebenarnya, berbagai konflik dan rumor yang beredar disebabkan oleh beberapa faktor penyebab yatu:[2]

  1. Iri hati dengan keberhasilan Sadrach dalam memberitakan Injil
  2. Salah paham dengan metode pekabaran Injil Sadrach
  3. Salah paham dengan sikap Sadrach saat menolak vaksinasi massal penyakit cacar
Tidak semua misionari Belanda membenci Sadrach. Ada beberapa misionari Belanda yang emphati dan mendukung pelayanan Sadrach seperti Wilhelm dan Nyonya Philip.

Komunitas Sadrach Paska Kewafatannya

Sebelum menghadap Tuhan dan Juruslamatnya, jemaat yang digembalakan beliau diserahkan di bawah naungan “Apostolische Kerk” (Gereja Kerasulan) di Magelang. Beliau tidak ingin menyerahkan perlindungan terhadap jemaatnya di bawah naungan gereja-gereja Belanda karena konflik dan sikap Belanda yang kurang kooperatif terhadap beliau. Sejak beliau bergabung dengan “Apostolische Kerk”, beliau diberi ditahbiskan dan diberi gelar “rasul” pada Tgl 30 April 1899. Beliau meninggal dengan tenang pada Tgl 14 November 1924 pada usia di atas 90 tahun.

Paska kewafatan Sadrach, terjadi perpecahan di dalam tubuh jemaat. Ada yang menginginkan tetap bergabung dengan Gereja Kerasulan namun sebagian ada yang menginginkan bergabung dengan “Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland” (GKN). Akhirnya jemaat terbagi dua. Sebagian bergabung dengan “Apostolische Kerk” (Gereja Kerasulan) dan sebagian bergabung ke “Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland”(GKN) yang kelak menjadi Gereja Kristen Jawa.


PASAREAN KIAI SADRACH





GEREJA KIAI SADRACH (Sekarang menjadi GKJ KARANGYOSO)




PENDAPA RUMAH KIAI SADRACH 




Refleksi:
Menyelaraskan Akar Historis Kekristenan dan  Akar Kebudayaan Lokal

Karya pekabaran Injil Sadrach telah menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang Jawa menerima Kabar Baik. Dengan caranya yang khas, memikat dan simpatik serta berakar pada konteks kejawaan, beliau mengajak orang-orang Jawa mengenal Yesus Sang Mesias. Sadrach tidak mencabut orang Jawa dari akar kebudayaannya. Dia tetap menjadikan orang Jawa sebagai orangb Jawa namun memiliki prinsip dan gaya hidup sebagai Kristen atau pengikut Mesias (Kristus).

Dari pemaparan singkat kisah kehidupan dan pelayanan Sadrach tersebut, kita dapat mengambil benang merah bahwa konteks dimana pewartaan Injil diberitakan, tidak dapat diabaikan. Jika penerima berita Injil dicabut dari akar kebudayaannya, maka penerima Injil akan menjadi pribadi dan komunitas yang teralienasi (terasingkan) dari kebudayaan disekelilingnya. Sadrach memang membuang sejumlah adat istiadat kekafiran yang tidak sejalan dengan ajaran Mesias. Namun dia melakukan seleksi adat istiadat dan kebudayaan yang masih dapat dipakai sebagai sarana mewartakan Injil.

Kita harus menghargai kebudayaan yang terekspresi dalam karya seni dan sastra, karena kebudayaan adalah ekspresi kemanusiaan yang diciptakan sesuai Gambar & Keserupaan dengan Tuhan. Apapun warna kulit dan keagamaannya. Namun demikian kita pun tidak menyangkal bahwa dalam kebudayaan terkandung sifat Gambar dan Keserupaan Tuhan yang telah rusak yang terejawantahkan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang bersifat penyembahan berhala, okultsme, sihir, tahayul dll. Oleh karenanya, kita harus memilih dan memilah kebudayaan mana yang masih dapat dipakai karena didalamnya merefleksikan keagungan manusia sebagai Gambar dan Keserupaan dengan Tuhan dan mana yang harus dibuang karena di dalamnya terkandung sifat dosa dan ketidaksepahaman dengan nafas ajaran Mesias.

Spirit Sadrach yang menghargai kebudayaan, bukan hanya kita teladani secara sempit dengan meniru begitu saja apa yang pernah dilakukan oleh Sadrach di zaman lampau. Banyak gereja yang berlatar belakang dari pelayanan Sadrach hanya meniru bentuk kontekstualisasi Sadrach (memakai wayang, menyan, keris, tembang jawa, dll) namun gagal memahami spirit Sadrach yang eksploratif dalam menerjemahkan Injil dalam kebudayaan setempat. Yang kita tiru adalah spirit eksploratif dari Sadrach dalam memilih dan memilah kebudayaan mana yang dapat dipakai sebagai pewartaan. Kemampuan ini membutuhkan penalaran teologis atas sejumlah teks Kitab Suci serta pengalaman-pengalaman di dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat.

Kita tidak hidup di Abad XIX yang berlatarbelakang ngelmu dan kanuragan serta kadigjayan. Konteks Abad XXI adalah munculnya berbagai perkembangan teknologi dan munculnya berbagai ragam pemikiran-pemikiran baru bahkan kontroversial dikarenakan perkembangan pengetahuan. Setidaknya kita harus menguasai teknologi (komputer, internet, email, lap to, dll) untuk melakukan tugas pewartaan. Setidaknya kita harus menguasai aneka ragam karya pikir yang berkembang akhir-akhir ini.

Sedikit catatan penting untuk direnungkan. Upaya Sadrach untuk menerjemahkan Kekristenan versi Penjajah Belanda ke dalam konteks Jawa menyiratkan “kegelisahan spiritual” Sadrach. Saya memang tdak memiliki bukti untuk kalimat yang saya bahasakan dengan “kegelisahan spiritual”, namun indikasi Sadrach mengalami hal tersebut sangat kuat. Yang saya maksudkan dengan “kegelisahan spiritual” adalah munculnya berbagai pertanyaan dalam pikiran Sadrach mengenai ketidaksinkronan antara apa yang tertulis dalam Kitab Suci dengan ekspresi keagamaan yang dibawa misionari Belanda. Sadrach tidak ingin melepaskan “beskap” atau pakaian Jawa dan menggantinya dengan “pantalon”. Sadrach tidak menggunakan formula teologis yang bercorak Calvinisme melainkan corak sastra Jawa. Sadrach tetap menyunatkan pengikut-pengikutnya dan mengabaikan cara pandang Kristen Barat tentang sunat. Karena Sadrach melihat ketidaksinkronan antara ekspresi religius umat Tuhan yang berakar dalam keyahudian dan yudaisme maka Sadrach lebih berani dan leluasa untuk melakukan refleksi teologis atas ekspresi religius tokoh-tokoh Kitab Suci dengan konteks kebudayaan Jawa Islam yang memiliki banyak kemiripan.

Seandainya Sadrach bertemu atau dipertemukan dengan corak kekristenan yang mengeskpresikan nilai-nilai keyahudian dan akar budaya semitiknya, setidak-tidaknya dengan kekristenan yang masuk ke Indonesia sejak Abad VII Ms di Sumatra, yaitu dari Gereja Orthodox Syria atau setidaknya jika beliau bertemu dengan gerakan Messianic Judaism yaitu pergerakan spiritual dikalangan Yahudi dan Yudaisme yang percaya bahwa Yesus adalah Mesias Yahudi, yang muncul di Abad XXI dengan corak kembali ke akar Ibrani, saya yakin Sadrach akan menemukan keharmonisan dan bukan konflik dan salah paham dengan pemerintahan kolonial Belanda. Sadrach tinggal satu langkah saja yaitu menerjemahkan corak kekristenan semitik dalam bingkai Jawa Islam yang lebih banyak memiliki kesamaan daripada perbedaan sebagaimana Kekristenan Barat. Kekristenan yang bercorak semitik yang berakar pada kebudayaan dan keagamaan Yahudi, memiliki banyak persamaan dengan pola kebudayaan Jawa dan Islam.

End Notes

[1] Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa, Jakarta: Grafiti Pers, 1981, hal 45

[2] Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach & Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX, BPK Gunung Mulia, Jakarta & Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2001, hal 192-240

Posting Komentar

0 Komentar