Beberapa minggu lalu, tanggal 25 Februari 2013 SMK Negeri 2 Kebumen mengadakan kegiatan Safety Riding yang dibuka langsung oleh Kepala Sekolah SMK Negeri Negeri 2, Drs Widi Suseno (Puluhan Peserta Jajal Halang Rintang, Kebumen Ekspres, 25 Februari 2013, hal 8). Kegiatan tersebut berisikan sejumlah materi dan praktek berkendara, mulai penggunaan helm yang benar dan menjajal halang rintang. Kegiatan tersebut ditindaklanjuti dengan keputusan tegas mengenai larangan menaiki kendaraan bagi para siswa yang belum memiliki SIM. Kebijakan tersebut mulai dilaksanakan pada tahun ajaran baru.
Kegiatan di atas sangat positif dan patut dicontoh oleh beberapa lembaga sekolah lainnya. Setidaknya ada dua keuntungan dengan kegiatan tersebut. Pertama, menanamkan pendidikan awal terhadap sejumlah siswa/pelajar dalam kemahiran berkendara di lapangan sedini mungkin. Kedua, mencegah kecelakaan laka lantas yang banyak memakan korban dari usia-usia remaja produktif.
Angka Kecelakaan Didominasi Usia Produktif
Fakta dan data di lapangan, tahun 2010 laporan Kepolisian menyebutkan, jumlah kematian akibat kecelakaan secara nasional mencapai 31.234 jiwa. Dari jumlah tersebut 67% korban kecelakaan berada pada usia produktif yakni 22-50 tahun. Tahun 2011 laporan jumlah kematian akibat kecelakaan mencapai 32.657 jiwa. Angka ini sangat fantastis dan lebih tinggi dibanding kematian akibat penyakit bahkan peperangan. Kondisi ini membuat jalan raya menjadi tempat paling maut dan mematikan (Mayoritas Kecelakaan Usia Produktif, waspada.co.id).
Di Medan saja dilaporkan, sampai bulan Oktober 2011 angka kecelakaan mencapai 8.000 kasus dengan korban sia-sia dan korban kecelakaan lalulintas ini paling banyak adalah usia produktif antara 13 sampai 30 tahun, dan yang paling banyak adalah dari jenis kenderaan sepeda motor (Sampai Oktober 2011 Angka Kecelakaan Didominasi Usia Produktif, analisadaily.com). Bagaimana dengan Jawa Tengah? Kepala Jasa Raharja Jawa Tengah, Sukono mengatakan, angka kecelakaan di Jawa Tengah sebanyak 4660 (empat ribu enam ratus enam puluh) dilakukan usia remaja, yaitu usia SLTA dan Mahasiswa. Jika di prosentase sebesar 67% kecelakaan dilakukan usia produktif dan sebagian besar kecelakaan dilakukan oleh pengguna sepeda motor. Sementara angka kecelakaan meninggal tingkat nasional tahun 2011 sebanyak lebih dari 30 ribu jiwa (Sosialisasi Keselamatan Berlalu Lintas, Jasa Raharja Gandeng IAIN, walisongo.ac.id)
Oleh karenanya, program-program sejenis yang telah dilakukan oleh SMK Negeri 2 Kebumen patut diteladani dan dikembangkan oleh sekolah-sekolah demi pencegahan kecelakaan lalu lintas. Pelarangan menggunakan kendaraan bermotor di sekolah belum cukup efektif menyadarkan siswa akan pentingnya penguasaan berkendara di jalan raya. Upaya pendidikan berkendara di sekolah-sekolah di luar kegiatan formal perlu diupayakan secara lebih masih dan terkoordinasi.
Pentingnya Pendidikan Kecerdasan Moral dan Kecerdasan Sosial Dalam Berkendara
Namun demikian dalam program pendidikan berkendara di kalangan pelajar jangan hanya melibatkan aspek kognitif (pengetahuan tentang rambu-rambu lalu lintas, menghafal sejumlah kode wilayah motor, dll) dan motorik (melewati halang rintang, penggunaan helm yang benar, kecekatan dan ketrampilan berkendara) belaka. Aspek afektif (kepekaan, rasa) perlu ditumbuhkan dalam diri siswa melalui program pendidikan berkendara. Aspek afektif yang dimaksudkan berkaitan dengan kecerdasan moral dalam berkendara.
Masih banyak ditemui sejumlah siswa dan pelajar baik yang sudah memiliki surat ijin mengemudi maupun belum memiliki, kerap berkendara dengan minim kecerdasan moral dan kecerdasan sosial. Bentuk ketidakcerdasan moral dan ketidakcerdasan sosial tersebut saya bagi menjadi dua aspek yaitu aspek penyimpangan perilaku dan aspek penyimpangan mekanis.
Penyimpangan perilaku berkendara nampak saat mereka berkendara di tempat yang sempit (gang, tikungan) tetap melaju kendaraannya dengan kencang. Selain itu masih ditemui sejumlah siswa atau pelajar berkendara di jalanan yang tidak begitu lebar dan ada sejumlah orang sedang berdiri atau duduk-duduk di tepi jalan, tanpa mengurangi laju kendaraannya tetap menancap gas. Masih juga ditemui bagaimana seorang siswa atau pelajar tidak memberikan kesempatan ketika ada orang lanjut usia hendak menyebrang bahkan hampir menyerempet.
Penyimpangan mekanis nampak dengan mengganti knalpot yang seharusnya bersuara halus karena fungsi penyaringan berfungsi menjadi knalpot bersuara berisik dan mengganggu lingkungan. Ada juga yang menyetel lampu belakang saat di rem memancarkan cahaya sorot lampu jauh seperti lampu depan motor sehingga mengganggu pengendara di belakangnya.
Lalu bagaimana bentuk pendidikan yang menekankan aspek afektif berupa kecerdasan moral dan kecerdasan sosial saat berkendara? Aparat kepolisian dapat menerjemahkan dalam dua cara. Pertama, materi deskriptif. Saat dilaksanakan pendidikan perilaku berkendara di sejumlah sekolah maka pihak kepolisian bukan hanya memberikan sejumlah teori mengenai bagaimana mengendarai yang benar serta sejumlah pengetahuan teknis menggunakan alat-alat kelengkapan berkendara melainkan memaparkan sejumlah materi perihal kesopanan dan kesantunan dalam berkendara, baik di saat berada di gang sempit penuh orang atau saat berada di tikungan atau saat menghadapi penyebrang jalan khususnya orang yang sudah lanjut usia. Kedua, saat diadakan ujian tertulis berkendara dalam rangka memperoleh surat izin mengemudi, sejumlah materi yang melibatkan pemahaman perihal kesopanan dan kesantunan dalam berkendara harus dimasukkan dalam materi ujian tertulis.
Apakah uji materi dan uji praktik yang melibatkan aspek afektif berupa kesantunan dan kesopanan berkendara baik di jalan raya maupun perumahan hanya diberlakukan bagi siswa dan pelajar belaka? Nampaknya pola ini tidak hanya diberlakukan secara diskriminatif terhadap siswa dan pelajar melainkan diterapkan secara menyeluruh bagi mereka yang telah dewasa karena tidak jarang dijumpai sejumlah pengendara dewasa yang tidak memiliki kecerdasan moral dan kecerdasan sosial saat berkendara sehingga bisa menimbulkan kecelakaan dan ganguan kenyamanan lingkungan.
Jika peserta ujian tertulis dan praktek telah lulus dalam ujian yang melibatkan aspek kognitif, afektif serta psikomotorik, maka diharapkan peserta ujian telah memiliki pemahaman komprehensif mengenai perilaku berkendara yang baik entahkah di jalan raya maupun di gang-gang sempit sekitar rumah-rumah. Tentu saja usulan ini belum teruji di lapangan. Oleh karenanya perspektif pelibatan aspek afektif dalam berkendara perlu diuji cobakan dan dievaluasi tingkat manfaat dan keberhasilannya dengan metode yang sama ini telah dikerjakan.
Kiranya perspektif ini dapat mengurangi angka kecelakaan berkendara khususnya di kalangan generasi muda dan usia produktif sehingga mereka dapat melewati periode dan jenjang kehidupan dan pendidikan tanpa terengut nyawanya oleh karena kecerobohan dan ketidak hati-hatian serta ketidak cerdasan moralitas dan sosial dalam berkendara.
0 Komentar