Siang itu udara cukup panas di kota Gombong. Saya sedang menelusuri tokoh dan saksi sejarah revolusi fisik antara Indonesia dengan Belanda di wilayah Gombong, Kebumen. Sampailah saya di rumah Bpk Narto yang terletak di Gang Sindoro III Nomor 2 Gombong. HR Soenarto Danusumarto, nama aslinya, saat ini masih menjabat ketua Legiun Veteran Republik Indoneisa (LVRI) Cabang Kebumen sekaligus Koordinator LVRI Se-Kedu. Beliau adalah saksi dan pelaku sejarah pertempuran Kemit yang diabadikan dengan keberadaan Monumen Kemit di dua tempat. Satu tempat di tepi jalan Karanganyar-Gombong dan satunya di Jembatan Karanganyar[1]
Saya saya dan istri bertandang ke rumahnya, nampak ada beberapa orang menemui beliau. Saat itu ada seorang wartawati dari Trans 7 dalam rangka program siaran “Tau Gak Sih?” sudah mendahului saya mewawancarai pak Narto. Saya langsung bergabung dalam pembicaraan diantara mereka sebelum wawancara resmi dan penyutingan dilaksanakan.
Waktu beberapa puluh menit saya pergunakan untuk mencari tahu seputar aktivitas Pak Narto semasa perjuangan dahulu dan beberapa informasi penting seputar tempat-tempat bersejarah yang tidak jauh dari kediaman Pak Narto yaitu Benteng Van der Wick (baca: Van der Weigh).
Pria berusia 86 ini masih terlihat gagah dan berwibawa, khususnya saat menggunakan seragam veteran. Sambil menunjukkan lencana Bintang Gerilya, beliau mengatakan bahwa dirinya berhak dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata, namun dirinya lebih memilih dimakamkan di Gombong apabila kemudian hari kelak Tuhan memanggilnya. Pernyataan Pak Narto menunjukkan bahwa beliau memang bukan orang sembarangan dalam rangkaian sejarah kemerdekaan. Beliau adalah salah satu aset Gombong dan Kebumen sebagai pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan.
Di ruang tamunya terpampang banyak foto, al., berjabat tangan bersama Presiden Soeharto, berjabat tangan bersama Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, lukisan hasil pemberian Martha Tilar (pemilik Martha Tilaar Group (MTG), sebuah grup usaha industri jamu dan kosmetika dengan produk merek dagang Sariayu Martha Tilaar)[2]. Ibu Martha Tilar saat ini sedang berencana membangun museum di rumah peninggalan orang tuanya tersebut[3].
Saya diajak melihat-lihat ruang tamu yang berhiaskan foto dan tombak-tombak peninggalan leluhur sampai ke belakang dimana di sana-sini dipenuhi foto dan buku-buku. Saat saya berkata, “maaf lho mbah masuk ke dalam...” dia hanya berujar, “tidak apa. Ini rumah kalian juga”. Sebuah pernyataan yang menyiratkan bahwa rumah kediaman Pak Narto merupakan sebuah museum hidup yang dapat dikunjungi dan diakses siapapun.
Sebelum di wawancarai dan disyuting, saya sempat mendengar pernyataan kontroversial Pak Narto terkait keberadaan Jepang di Indonesia. Beliau berkata, “Kita harus bersyukur Jepang ada di Indonesia. Jika tidak ada Jepang, kita mungkin akan tetap terjajah dan tidak merdeka!”. Sontak saya terkaget-kaget karena sampai hari ini saya tetap memegang teguh catatan sejarah bahwa kedatangan Jepang lebih buruk daripada Belanda karena 350 tahun Belanda memerintah dan berkuasa di Indonesia, sekalipun menjajah dan merugikan, mereka membangun infrastruktur pendidikan dan pembangunan gedung-gedung penting yang selama ini dapat kita saksikan kemegahan dan kelanggengan fungsinya di zaman modern. Sementara Jepang yang hanya memerintah seumur jagung yaitu 3,5 tahun telah melakukan kerusakan hebat dan pembunuhan luar biasa atas rakyat Indonesia. Kelaparan terjadi dimana-mana dan bangsa Indonesia mengalami masa pahit dengan memakan gaplek dan memakai pakaian karung goni.
Ketika saya konfrontir dengan data-data yang saya ketahui sebagaimana saya jelaskan di atas, beliau menjawab demikian, “Memang jika kita hanya melihat dari sudut pandang negatifnya, Jepang memang telah mendatangkan kerusakan. Namun jika kita pandang dari sudut pandang positip, justru melalui Jepanglah kita belajar berperang dan berani melawan tentara Belanda”. Saya manggut-manggut sejenak berusaha untuk mencerna dan mengerti.
Beliau melanjutkan, “di bawah pemerintahan Jepang, orang Indonesia dilatih berperang dan menyanyikan lagu-lagu yang menimbulkan gelora perlawanan terhadap Belanda. Bukan hanya itu, setiap lulusan militer Jepang dalam tempo 2 bulan sudah menjadi perwira terlatih dalam medan tempur”. Beliau menyebut sejumlah nama dan yang saya ingat hanyalah dua tokoh yaitu Jendral Sudirman yang berlatar belakang guru dan Jenderal Sarbini yang namanya diabadikan menjadi nama salah satu jalan di Kebumen karena beliau adalah warga Kebumen.
Dengan bekal pelatihan tempur oleh Jepang, bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk menghadapi Belanda kelak. Khususnya dengan didirikannya kesatuan Tentara Pelajar (PETA) yang dikemudian hari akan menjadi pasukan-pasukan perlawanan bersenjata yang ditakuti Belanda.
Percakapan tersebut membuat saya merenungkan satu hal, bahwasanya kita harus memandang sebuah peristiwa dengan obyektif dan menyeluruh. Ada aspek positip dan negatif dibalik semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Jika kita hanya melihat aspek negatifnya, maka kita akan selalu menjadi orang yang berkeluh kesah dan menyerah pada takdir dan keadaan. Namun jika kita melihat dari aspek positipnya, maka kita akan selalu menjadi orang yang dapat melihat peluang dan kesempatan dibalik penderitaan dan kesulitan hidup.
Dari percakapan dengan Pak Narto, saya pun mendapatkan informasi mengenai dua tempat bersejarah di wilayah Gombong tidak jauh dari rumah beliau yaitu Benteng Van Der Wijk (baca: Van der Weigh) dan Kerkkoof (artinya Taman Gereja namun kemudian lebih diartikan pemakaman warga Belanda).
Berbeda dengan pemahaman umum mengenai keberadaan Benteng Van der Wick yang dianggap sebagai benteng pertahanan, saya mendapatkan informasi bahwa keberadaan benteng yang didirikan tahun 1817 (menurut Pak Narto) atau 1818 (menurut tulisan di benteng) dahulunya adalah benteng tempat menaruh persediaan pangan untuk kebutuhan ekonomi dan perdagangan. Tidak ada yang tahu siapa yang mendirikan benteng ini. Nama “Van der Wick” adalah nama yang disematkan setelah paska kemerdekaan dengan merujuk bahwa pernah salah satu kapten Belanda bernama Van der Wick meminta namanya disematkan di benteng tersebut setelah berhasil mengalahkan perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Namun beliau merunut lebih jauh bahwa nama yang pernah disandang benteng tersebut dihubungkan dengan nama David Cochius (1787-1876), seorang Jenderal yang bertugas di daerah barat Bagelen yang namanya juga diabadikan menjadi nama Vort (benteng) Generaal Cochius.
Beberapa ratus meter dari benteng ke arah Timur ada areal pemakaman Belanda yang saat ini sudah bercampur dengan makam penduduk. Kondisinya memprihatikan dan tidak terawat. Banyak situs penting hilang dan rusak karena faktor kelalaian dan kejahatan. Faktor kelalaian adalah kurangnya pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab dengan keberadaan makam tersebut dimana ada sejumlah makam yang jatuh ke sungai karena tergerus abrasi air sungai. Sementara faktor kejahatan adalah pencurian situs makam al., patung-patung dan batu-batuan tertentu.
Akhirnya Pak Narto pun diwawancarai resmi dan disyuting. Setelah beberapa waktu lamanya, selesailah wawancara dan saya pun turut berpamitan dengan membawa satu naskah copyan “Hari Lahirnya Pancasila” yaitu petikan pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
Semangat juang Pak Narto telah membangunkan kembali semangat kebangsaan sebagai kaum muda untuk meneruskan perjuangan pembuka zaman baru yaitu kemerdekaan dengan mengisinya dengan berbagai karya bermanfaat di segala bidang.
Saya teringat pernyataan beliau saat diwawancarai wartawan Suara Merdeka ketika diminta pandangannya tentang proklamasi dan kemerdekaan Indonesia, “Dia menuturkan munafik bila ada orang mengatakan sampai 67 tahun ini Indonesia belum merdeka. Bahwa masih ada kekurangan, kemiskinan, ketidakadilan, termasuk korupsi, memang iya dan itu tantangan kita. Namun jangan lupa, kata dia, tanpa perjuangan para pendahulu mengusir penjajah dan perjuangan Soekarno, Hatta, dan lain-lain membakar emosi rakyat, jangan harap Indonesa merdeka. “Jangan samakan dengan Amerika. Mereka sudah ratusan tahun merdeka. Kita baru 67 tahun,” ujar dia”[4]
Tugas kitalah para generasi muda untuk mengisi sebaik mungkin kemerdekaan dan melakukan perjuangan baru dengan mengalahkan kebusukan dan kemalasan serta mentalitas korupsi yang menggerogoti tubuh Indonesia yang telah dimerdekakan oleh para pendahulu kita. Indonesia sudah merdeka baik De Facto maupun De Jure. Namun lemahnya mentalitas bangsa yang telah dimerdekakan harus dikikis habis sebagai bentuk perjuangan tiada akhir dari generasi masa kini dan yang akan datang.
END NOTES
[1] Teguh Hindarto, Monumen Kemit dan Sang Perancang
http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2013/02/monumen-kemit-dan-sang-perancang.html
[2] Martha Tilaar
http://gombong.com/?page_id=21
[3] Bangun Museum di Gombong, Martha Tilaar Ingin Majukan Masyarakat
http://lifestyle.okezone.com/read/2012/09/04/196/684790/bangun-museum-di-gombong-martha-tilaar-ingin-majukan-masyarakat
[4] Soenarto Danusumarto, ”Ensiklopedi” Sejarah:Berkawan Baik dengan Mantan Tentara Penjajah, Suara Kedu, 26 Agustus 2012
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/08/26/196536/Berkawan-Baik-dengan-Mantan-Tentara-Penjajah
0 Komentar